Mereka masih terbayang kondisi mencekam yang dialami masing-masing.
Di tengah kepanikan, mereka berusaha menyelamatkan diri: dievakuasi atau bertahan di dalam rumah.
Hal itu diungkapkan Dodi Sudrajat (42), warga Blok E, Perum Graha Permai Watubelah, saat ditemui Kompas.com pada Sabtu (18/1/2025) siang.
Dodi menghela napas dan mengembuskan napas yang menyiratkan beratnya perjuangan dirinya semalam.
Seingat Dodi, sekitar pukul 20.30 WIB, tiba-tiba dia mendengar teriakan banjir dari tetangga.
Dia yang sedang berada di dalam rumah bersama istri dan tiga anaknya langsung berusaha menyelamatkan barang berharga.
Tak disangka, air datang dengan sangat cepat, sehingga rencana mengungsi dibatalkan.
Benar saja, Kompas.com menghitung jarak rumah Dodi dengan sungai hanya terpisah sekitar 10 rumah.
Jarak yang dekat ini membuat rumah Dodi lebih cepat terendam banjir yang sangat tinggi dibandingkan bagian barat.
Selain itu, dataran rumah Dodi lebih rendah dibandingkan bagian depan.
"Hitungan detik lah, cepat tinggi sekali. Di dalam rumah aja itu 150 centimeter, kalau di jalan sudah lebih tinggi. Kita nggak berani keluar evakuasi karena perhitungannya kecil sih. Ada anak kecil balita 2 tahun," kata Dodi saat ditemui Kompas.com di depan rumahnya.
Dodi menyebut, dia memilih bertahan dengan semua risikonya.
Dia membawa istrinya sambil menggendong anaknya yang berusia 2 tahun, dan dua anaknya yang remaja.
Sedangkan Dodi bertahan berdiri di lantai dengan ketinggian air mencapai dadanya, dan nyaris menyentuh lehernya.
Ini dipilihnya karena banjir yang datang sudah sering kali terjadi.
Dodi meyakini banjir akan berangsur-angsur surut.
Dan, benar saja, setelah sekitar satu jam lebih, Dodi melihat dinding, bahwa batas permukaan air banjir semakin menurun dan surut.
"Istri dan anak-anak di spring bed itu masih tergenang banjir sekitar sampai paha. Kalau saya sendiri di bawah segini, sedada. Panik beberapa menit seperti itu, saya perhatikan tembok mulai kelihatan surut. Alhamdulillah, alhamdulillah cepat surutnya," ungkap Dodi.
Dodi menceritakan banjir ini merupakan kali ketujuh yang dialami sejak tahun 2010 silam.
Skala banjir sebelumnya tidak ada yang pernah memporak-porandakan seperti ini.
Dia meyakini banjir kali ini kiriman dari bagian hulu, karena sepanjang Jumat siang hingga malam, tidak ada hujan deras yang mengguyur wilayahnya.
Harapan Dodi sama dengan tetangga lainnya.
Mereka meminta agar pengembang perumahan dan juga pemerintah mendirikan tanggul atau tembok yang kokoh untuk menghalau potensi debit air yang tinggi.
Sama halnya dengan Dodi, Dedi Selamet Riyadi (50) juga mengalami kepanikan tak terhingga.
Dirinya yang baru saja keluar rumah, tiba-tiba mendapat kabar rumahnya diterjang banjir.
Seketika Dedi pulang dan sudah menemukan anaknya di tempat pengungsian.
"Panik sekali, Mas, saya tidak di lokasi, karena baru keluar rumah. Mendengar kabar banjir, saya langsung pulang lagi. Anak-anak sudah di tetangga, diungsikan warga, Alhamdulillah," kata Dedi saat ditemui Kompas.com di rumahnya, Sabtu (18/1/2025) pagi.
Banjir yang merendam perumahan tempat dia tinggal merupakan terparah selama ini.
Seluruh area perumahan terendam dengan ketinggian 100-150 centimeter.
Selain itu, banjir kali ini sangat merusak.
Banyak rumah warga jebol dan juga sampah yang terbawa banjir menumpuk di perumahan.
Sejak pagi, dia bersama tetangga kanan kiri membersihkan lumpur yang memenuhi seluruh ruang di rumahnya.
Sampah rumah tangga, ilalang, ranting, dan beragam sampah masuk ke rumahnya.
Dia terpaksa tidak bisa beraktivitas seperti biasa, karena harus membersihkan sisa banjir.
Dedi berharap pemerintah turun langsung ke lokasi dan segera membangun tanggul yang jebol karena dorongan air sungai Cipager yang sangat luas.
https://bandung.kompas.com/read/2025/01/18/153031478/cerita-dodi-jaga-3-anak-dan-istri-di-kasur-saat-banjir-terjang-cirebon