BANDUNG, KOMPAS.com - "Tung, tung, tung," suara palu menghantam kawat terdengar riuh di gang sempit sebuah rumah di Jalan Gunung Batu, Cicendo, Kota Bandung.
Di balik garasi yang dipenuhi alat-alat dan kawat, Eno (39) dan rekan-rekannya terlihat asyik bekerja untuk memenuhi pesanan lampion menjelang Imlek 2025.
Di ruang yang sederhana itu, Eno tampak fokus membentuk rotan yang akan menjadi kerangka lampion. Dengan bantuan alat yang disebut "matres," ia mengoleskan lem dan menempelkan kain warna-warni untuk menutupi kerangka tersebut.
"Saya bisa bikin enam lampion besar yang satu meter sehari, kalau yang kecil rata-rata 10 lampion, kadang tergantung mood juga," kata Eno dengan senyum ramah.
Eno sudah menjadi perajin lampion selama 10 tahun. Lampion-lampion buatan Eno ini tak hanya dipesan oleh warga Bandung, tetapi juga berasal dari luar kota dan bahkan Dubai.
Namun, dari berbagai bentuk lampion yang diproduksinya, bentuk karakter menjadi tantangan tersendiri.
"Bentuk karakter itu yang paling rumit, membutuhkan waktu dan usaha yang lebih," ujarnya.
Di samping Eno, ada Asep (43), yang sudah lama menekuni dunia perlampionan. Dianggap "legend" oleh Eno, Asep mengenang salah satu proyek besar yang pernah ia kerjakan: lampion naga setinggi 8 meter dengan diameter 4 meter, yang dipesan pada tahun 2021 untuk sebuah klien di Jakarta.
"Gambarnya kecil, kemudian kita skalakan menjadi besar," cerita Asep, mengenang betapa sulitnya mengerjakan lampion tersebut di luar ruangan, mengingat kendala cuaca.
Asep memulai karirnya sebagai perajin lampion sejak tahun 1999. Belajar dari sang guru, Asep kini menjadi generasi kelima dalam keluarga yang mewarisi keterampilan ini.
"Saya belajar dari gurunya Pak Haji, regenerasi. Jadi kalau ini ya untuk tahap-tahapan, mungkin ini generasi yang kelima gitu," ujarnya dengan bangga.
Pekerjaan mereka tak hanya sekadar menghasilkan lampion indah, tetapi juga memberikan peluang bagi warga sekitar untuk bekerja bersama mereka, terutama menjelang Imlek dan Idul Fitri ketika permintaan lampion melonjak. Meski demikian, Asep tak asal menerima pesanan.
"Jika pesanan mendesak dan waktu pengerjaan mepet, saya lebih memilih menolaknya daripada hasil yang kurang memuaskan," katanya bijak.
Meskipun bekerja dalam kondisi sederhana, semangat dan dedikasi Eno dan Asep untuk menjaga kualitas lampion yang mereka buat tak pernah pudar. Bagi mereka, setiap lampion adalah hasil dari kerja keras dan kecintaan terhadap tradisi yang terus dijaga.
https://bandung.kompas.com/read/2025/01/18/173354878/mengukir-cahaya-tradisi-kisah-para-perajin-lampion-di-bandung