Salin Artikel

Bandung Termacet Nomor 2 di ASEAN dan 12 Dunia, Warga: Bikin Emosi...

BANDUNG, KOMPAS.com - Kota Bandung menjadi kota termacet di Indonesia, "mengalahkan" Jakarta dan Medan.

Hampir setiap hari, warga Ibu Kota Jawa Barat ini harus bergelut dengan kemacetan yang seolah tiada henti.

Berdasarkan laporan TomTom Traffic Index 2024, Kota Bandung menempati posisi kedua di kawasan ASEAN sebagai kota paling macet, di bawah Davao City, Filipina.

Survei yang dilakukan oleh TomTom Traffic Index 2024 mencakup 62 negara di enam benua.

Hasilnya, Kota Bandung pun menduduki peringkat ke-12 dari 500 kota paling macet di dunia.

Pada laporan tersebut, untuk menempuh 10 kilometer di Kota Bandung, pengendara memerlukan waktu rata-rata 32 menit 27 detik.

Angka tersebut cukup terpaut jauh dengan Jakarta, sekitar 25 menit 32 detik.

Menurut sejumlah warga Kota Bandung, kemacetan di Kota Bandung terjadi pada pagi dan sore hari.

Waktu tersebut adalah jamnya berangkat dan pulang sekolah maupun kerja.

Selain itu, buruknya kualitas transportasi umum di Kota Bandung membuat warga enggan untuk menggunakannya. Kendaraan pribadi dipilih lantaran dianggap lebih cepat, murah, dan nyaman.

Zakia Ahmad Idris (34), warga Terusan Kopo, mengaku bahwa setiap hari dirinya selalu menghadapi kemacetan saat akan berangkat dan pulang kerja.

Ia terpaksa harus keluar rumah lebih pagi agar tidak telat sampai di tempat kerja.

"Cukup terganggu (macet), kadang bikin rutinitas kerja saya sebagai sales terganggu saat harus kunjungan ke klien di lapangan di perbatasan kota dan kabupaten," ujarnya saat ditemui di Jalan Sriwijaya, Jumat (24/1/2025).

Selain sebagai sales, Zakia yang sore harinya bekerja sebagai ojek online (ojol) merasakan dampak yang cukup signifikan terhadap pemasukannya.

Dari hari ke hari, penumpang semakin berkurang akibat waktu tempuh yang lebih lama.

Pada saat akhir pekan, ia terkadang merasakan macet yang lebih lama dibanding hari biasanya.

Ini terjadi karena banyaknya kendaraan wisatawan luar kota yang menyesaki pusat belanja dan kuliner di Bandung.

Kemacetan semakin diperparah ketika hujan mengguyur Kota Bandung, yang membuat sejumlah jalanan utama seperti Jalan A. H. Nasution dan Ahmad Yani tergenang banjir semata kaki atau "cileucang".

"Sudah mah pagi, siang, sore macet terus. Kalau hujan, banjir makin bikin macet. Enggak tahu kenapa sekarang macetnya makin sering, itu yang bikin saya kadang suka emosi di jalan," katanya sambil tertawa kecil.

Warga lainnya, Niko Prayoga (22), perantau asal Kabupaten Kuningan yang bekerja di Kota Bandung, merasakan perbedaan yang sangat signifikan dibandingkan dengan kota asalnya.

"Kalau di Kuningan, macetnya setahun paling 2-3 kali, itu pas Idul Fitri, Idul Adha, sama Tahun Baru. Di Bandung, saya setiap hari macet," katanya saat ditemui di kawasan Cihapit.

Niko yang berdomisili di Kecamatan Cibiru harus berangkat dua jam lebih awal untuk menuju ke tengah kota.

Sejak awal berangkat, ia sudah merasakan kemacetan karena Cibiru merupakan jalur perbatasan antar kota dan kabupaten.

"Dari awal aja udah macet, banyak warga kabupaten yang mengarah ke kota. Sebaliknya, banyak warga dan mahasiswa juga yang lewat Cibiru untuk kuliah di Jatinangor," ucapnya.

Meskipun bukan warga asli Bandung, ia berharap Pemerintah Kota Bandung bisa membenahi transportasi umum yang memadai dan cepat.

Salah satu yang dikeluhkan adalah banyak transportasi umum yang lambat sampai di halte atau terminal.

"Ritme Bandung cepat, tetapi transportasi umumnya terlalu lambat, jadinya enggak tepat waktu ke tujuan. Nah, harusnya pemerintah berbenah jadi banyak yang pakai, apalagi banyak PKL pinggir jalan sama angkot ngetem," tutur Niko.

Sementara itu, Nappisah (24), warga Kabupaten Bandung yang bekerja di Kota Bandung, menyebut bahwa banyaknya pembangunan menjadi salah satu penyebab kemacetan.

Ditambah sempitnya jalan-jalan utama membuat macet semakin parah.

"Yang diresahkan macet karena kendaraan bertambah, tetapi jalan segitu-gitu aja," katanya.

Dia berharap Pemda bisa merespons cepat keluhan warga perihal kemacetan yang terjadi di kawasan Bandung Raya.

Ia mendorong agar segera direalisasikan perbaikan transportasi umum dan pelebaran jalan sehingga bisa memuat kendaraan yang melintasi jalanan utama.

"Semoga ke depannya Bandung enggak macet lagi, apalagi ada pemimpin baru yang bakal dilantik. Tinggal tunggu gebrakannya saja soal kemacetan ini," katanya.

https://bandung.kompas.com/read/2025/01/24/141158578/bandung-termacet-nomor-2-di-asean-dan-12-dunia-warga-bikin-emosi

Terkini Lainnya

Dukung Konservasi, Bulog Kembangkan Jambu Air Camplong di Sampang
Dukung Konservasi, Bulog Kembangkan Jambu Air Camplong di Sampang
Regional
Jelang Nataru, KAI Edukasi Keselamatan di Perlintasan Sebidang Surabaya Gubeng
Jelang Nataru, KAI Edukasi Keselamatan di Perlintasan Sebidang Surabaya Gubeng
Regional
Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Regional
Tersangka dari Balai Kota
Tersangka dari Balai Kota
Regional
Saat Ungkapan 'Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua' Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Saat Ungkapan "Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua" Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Regional
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Regional
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Regional
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Regional
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan 'CSR', tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan "CSR", tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Regional
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Regional
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Regional
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Regional
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com