BANDUNG, KOMPAS.com - Seperti teman lama yang sesekali berkunjung, begitu kiranya Marni memaknai banjir Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, yang kerap datang manakala musim hujan tiba.
Wanita berusia 55 tahun itu tidak begitu kaget saat luapan Sungai Citarum pelan-pelan memasuki pekarangan rumahnya.
Maklum, "pertemanannya" dengan banjir di Kampung Bojongasih, Dayeuhkolot, bukanlah hal baru.
Sejak kecil, Marni sudah terbiasa dengan banjir "tahunan" itu.
"Sekarang mah udah biasa, mau enggak mau ya gini (banjir) tiap ada hujan gede kaya kemarin," katanya saat ditemui, Rabu (26/2/2025).
Dia membenarkan, hidup bersama atau berdampingan dengan luapan Sungai Citarum membuat dia dan sebagian warga di Kampung Bojongasih sudah tak lagi berharap lebih.
Bisa mengantisipasi banjir datang saja, kata dia, sudah terbilang aman.
"Enggak khawatir, mungkin sudah biasa saja, saya kan sudah lama tinggal di sini, puluhan tahun," ujarnya.
Bagi warga yang sudah lama hidup berdampingan dengan banjir, sudah barang tentu mengetahui tanda-tanda banjir akan datang.
Marni menjelaskan, Dayeuhkolot dan sekitarnya layaknya penampungan air jika di wilayah hulu seperti Kota Bandung hujan besar.
"Hujan besar dengan waktu sebentar enggak akan banjir, justru hujan yang terbilang kecil, kemudian lama waktunya itu bisa banjir. Jadi, sudah tahulah warga sini mah tinggal siap-siap saja," ungkap dia.
Kendati sudah terbiasa hidup berdampingan dengan bencana tahunan itu, Marni mengatakan tetap saja warga kerap mengalami kesulitan, terutama soal sembako.
Pasalnya, jika banjir datang dengan volume air cukup besar, secara otomatis listrik di kampungnya akan dipadamkan.
"Kalau udah dari situ, susah kami kalau enggak ada stok makanan, mau keluar gelap dan airnya cukup gede," kata Marni.
Selain itu, kebutuhan air bersih warga menjadi sesuatu yang paling disoroti.
Beruntung, kata dia, warga yang memiliki rumah lantai dua dan memiliki kamar mandi di atas.
Sejauh ini, warga yang hanya memiliki lantai satu kerap mengandalkan masjid atau kebaikan warga lainnya untuk sekadar ikut mandi atau buang air.
"Itu sulitnya, air bersih. Tapi, gimana lagi, kami kaya bertahan saja, mau pindah-pindah ke mana," ujarnya.
Terkait terhambatnya warga yang bekerja serta anak sekolah yang kerap terlambat, Marni menyebut itu sebagai rutinitas yang pasti dijumpai manakala banjir datang.
Banjir Paling Parah
Sementara itu, Saepuloh (51), warga Bojongasih, mengatakan, banjir hari ini terbilang cukup parah.
Pasalnya, volume air terus meningkat seiring dengan hujan yang mengguyur wilayah Bandung Raya.
"Memang hari ini yang paling parah, ketinggian biasa 150 sentimeter, palung terdalam sampai 200 sentimeter," katanya dikonfirmasi di lokasi.
Hampir seluruh wilayah di Kampung Bojongasih terdampak banjir luapan sungai Citarum.
Sebanyak 14 RW terdampak banjir tahunan itu.
Berbeda dengan banjir tahun-tahun sebelumnya, kata dia, saat ini jarang warga yang memiliki perahu sampan sehingga menyulitkan warga untuk beraktivitas.
Sedikitnya perahu yang tersedia menyebabkan warga kesulitan mengakses ke lokasi pengungsi serta sulit mendapatkan sembako.
Tak sedikit warga yang memilih mengungsi dari rumahnya untuk sementara waktu sampai banjir surut.
"Kondisi warga sebagian mengungsi, ada juga yang menetap, yang menetap biasanya yang memiliki lantai dua. Yang tidak ada, biasanya mereka ngungsi ke titik pengungsian," ucapnya.
Atik (44) mengungkapkan banjir di Bojongasih bukan hal baru.
Sejak tahun 80-an, warga asli Kampung Bojongasih sudah mengalami banjir.
Kendati sudah ada kolam retensi yang dibangun oleh pemerintah, tetap saja di beberapa lokasi banjir masih sulit ditangani.
Dia menambahkan, banjir sedikit teratasi di wilayah Baleendah. Di wilayah tersebut, pemerintah merelokasi warga dan membangun kolam retensi.
https://bandung.kompas.com/read/2025/02/26/143358778/derita-warga-dayeuhkolot-puluhan-tahun-berteman-banjir-gelap-makan-susah