Hal itu setelah Wakil Ketua DPRD Jabar Ono Surono mengkritik kebijakan tersebut.
Ono menilai keputusan ini mengabaikan aspirasi publik dan berpotensi mencederai semangat kolaborasi di antara berbagai elemen masyarakat. Ono menjelaskan bahwa penghapusan dana hibah ini terjadi dalam konteks efisiensi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Jabar, yang juga mencakup bantuan untuk organisasi kemasyarakatan dan usulan dari kabupaten/kota.
"Mereka menilai keputusan penghapusan tersebut tidak hanya mengabaikan aspirasi publik, tetapi juga mencederai semangat kolaborasi dan prinsip musyawarah, misalnya hibah Ponpes," kata Ono saat konferensi pers di Bandung, Jumat (25/4/2025), dikutip dari Antara.
Dia menekankan pentingnya verifikasi sebelum mengambil keputusan untuk menghapus dana hibah.
"Kalaupun ada pondok pesantren yang diduga memperoleh anggaran besar, maka perlu verifikasi dan jangan dicoret begitu saja tanpa melibatkan DPRD maupun dari ponpes tersebut," ujarnya.
Ono juga menyoroti bahwa kolaborasi lintas sektor sangat penting dalam perencanaan pembangunan.
"Implementasi prinsip kolaboratif di Jabar saat ini masih jauh dari harapan. Harusnya, kolaborasi hadir tidak hanya sebagai jargon dalam pidato atau dokumen formal, tetapi harus menjadi pijakan nyata dalam penyusunan kebijakan," ucapnya.
Dia berharap pimpinan DPRD Jabar segera merespons aspirasi masyarakat dan merumuskan kebijakan yang lebih adil dan menyeluruh.
"Verifikasi terhadap ponpes yang diduga menerima anggaran besar sangat penting agar tidak terjadi penghapusan dana secara sepihak tanpa melibatkan pihak terkait," tegasnya.
Menurut Dedi, penundaan sementara dana hibah pesantren dilakukan demi memprioritaskan kebutuhan dasar masyarakat Jawa Barat.
Ia pun menyatakan siap menghadapi kritik demi kepentingan rakyat banyak.
"Biar saya dikritik dan dicaci maki DPRD, enggak apa-apa. Yang penting rakyat Jabar tersenyum bahagia," ujar Dedi saat dikonfirmasi Kompas.com via sambungan telepon, Jumat (25/4/2025) malam.
Dedi menjelaskan, langkah realokasi sementara dana hibah pesantren itu dilakukan untuk efisiensi belanja daerah.
Sebelumnya, beberapa pos anggaran, termasuk anggaran untuk gubernur dan sejumlah dinas, juga telah dipangkas untuk dialihkan ke kebutuhan vital masyarakat Jabar.
"Anggaran untuk gubernur dipangkas, demikian juga dinas-dinas. Itu dilakukan agar ada alokasi untuk kebutuhan mendasar masyarakat, seperti jalan, rumah, listrik, dan penanganan bencana hingga bantu korban penggusuran," jelasnya.
Dedi mengatakan, pihaknya sangat membutuhkan dana untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat Jawa Barat.
Seharusnya hal itu dipahami oleh semua pihak. Dalam kesempatan wawancara itu, Dedi mempertanyakan kritik dan reaksi keras dari sejumlah anggota DPRD terkait penundaan dana hibah. Padahal pihaknya sama sekali tidak mengganggu anggaran wakil rakyat itu.
Utamakan prinsip kehati-hatian Dedi juga menyampaikan bahwa penundaan bantuan hibah, termasuk untuk pondok pesantren, dilakukan atas dasar prinsip kehati-hatian.
"Saya perlu evaluasi kebijakan hibah sebelumnya. Banyak data yang tidak valid dan tidak rasional. Ada yayasan baru yang tidak jelas dapat hibah. Lalu sebaran dana hibah menumpuk di wilayah tertentu seperti Tasik dan Garut. Itu tidak memenuhi rasa keadilan," ungkapnya.
"Saya tidak mau jadi gubernur konyol, menandatangani SK hibah yang saya sendiri tidak yakin kebenarannya. Dana hibah itu ditunda, bukan dihapus. Saya butuh waktu untuk verifikasi agar benar-benar tepat sasaran," tegasnya.
Dedi juga menyoroti potensi penyalahgunaan dana hibah di masa lalu. Ia yakin jika ada audit, banyak dana hibah yang bermasalah dalam empat tahun ke belakang.
"Kalau mau diaudit empat tahun ke belakang, saya yakin banyak yang bermasalah. Oleh karena itu, jangan sampai saya ikut terseret karena menandatangani SK hibah untuk yayasan yang tidak berhak. Saya tidak mau tersandera seperti kepala daerah lain," katanya.
Dedi menyatakan siap membuka data hibah sebelumnya jika terpaksa.
"Saya itu pantang buka-bukaan karena sebagai birokrat tidak etis, kecuali terpaksa," tandas Dedi.
"Pengembangan pesantren dan pembangunan sarana prasarana keagamaan ada dalam kamus SIPD dan RPJMD," kata Herman dalam keterangan tertulis, Minggu (27/4/2025).
Ia memastikan, untuk mendukung program tersebut, Pemprov Jabar telah memasukkannya ke dalam Sistem Informasi Pembangunan Daerah (SIPD) APBD 2026 dan rancangan awal Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2025–2029.
Herman menjelaskan, dalam satuan kerja perangkat daerah (SKPD) disebutkan bahwa nomenklatur program meliputi pengembangan dan perbaikan ruang kelas baru.
Selain itu, program ini juga mencakup pengembangan kegiatan pesantren, operasional organisasi masyarakat (ormas) keagamaan, pembangunan dan rehabilitasi masjid serta musala, hingga perbaikan madrasah aliyah negeri maupun swasta.
"Tempo hari Pak Gubernur dan Pimpinan DPRD sudah menandatangani nota kesepakatan rancangan awal RPJMD 2025-2029. Di dalamnya dengan tegas mencantumkan kebijakan terkait pengembangan pesantren dan pembangunan keagamaan," ujarnya.
https://bandung.kompas.com/read/2025/04/28/063544878/kritik-ono-surono-soal-dihapusnya-dana-hibah-pesantren-di-jabar-dan-respons