Salin Artikel

Beda dari Jokowi, Dedi Mulyadi Disebut Mampu Geser Jakarta dari Sorotan Nasional

Namun, pengamat politik Burhanuddin Muhtadi menilai ada perbedaan mendasar antara keduanya.

Dalam tayangan program "On Point with Adisty" di YouTube Kompas TV pada Sabtu (10/5/2025), Burhan mengatakan bahwa menyamakan Dedi Mulyadi dengan Jokowi secara langsung kurang tepat.

"Sebenarnya kalau menyebut seorang KDM (Kang Dedi Mulyadi) versi lain dari Jokowi, Jokowi versi 2.0 itu enggak seluruhnya benar juga sih," ujarnya.

Burhanuddin menyoroti kemampuan komunikasi Dedi yang jauh lebih artikulatif, bahkan tidak ragu berdialog dan berdebat dalam menghadapi masalah di lapangan—berbeda dengan Jokowi yang cenderung memilih pendekatan diam atau tersenyum.

Burhan mencontohkan kiprah Dedi saat masih menjadi anggota DPRD Purwakarta (1999–2004), ketika ia berani menemui massa buruh yang berdemo—sikap yang dihindari koleganya saat itu.

“Ramai terjadi perdebatan sangat sengit gitu ya, tetapi setelah demo itu dia justru populer karena berani mendebat dan sekaligus mengajak dialog mereka yang kontra,” ungkapnya.

Selain dari sisi gaya politik, perbedaan latar belakang juga menjadi faktor pembeda. Jokowi tumbuh dari dunia Mapala, sedangkan Dedi adalah aktivis murni sejak kuliah, aktif di HMI dan berbagai organisasi kepemudaan.

Dobrak sekat nasional

Lebih dari itu, Burhanuddin menilai Dedi Mulyadi berhasil mendobrak sekat-sekat politik nasional yang selama ini berpusat di Jakarta.

“Biasanya popularitas kepala daerah itu bermula di Jakarta. Kenapa? Karena Jakarta adalah pusatnya pemerintahan, pusatnya informasi, pusatnya opinion maker. Itu yang menjelaskan naiknya seorang Jokowi, Anies Baswedan. Tetapi sekarang justru dibalik ke Jawa Barat. Dedi Mulyadi mendobrak itu,” tegas Burhan.

Tak hanya soal geografis, Dedi juga menantang dominasi etnik dalam politik nasional. Selama ini, tokoh yang menonjol di level nasional umumnya berasal dari etnik Jawa.

Namun kini, Dedi sebagai putra Sunda menunjukkan bahwa tokoh dari etnik terbesar kedua di Indonesia juga bisa mendapat tempat yang sama strategisnya.

"Menarik pula untuk kita lihat biasanya kepala daerah yang populer itu yang punya latar belakang etnik Jawa. Jokowi, Ganjar Pranowo, Anies—meskipun kita tahu tidak sepenuhnya Jawa, tetapi besar di Jogja ya. Ini Sunda gitu kan," tambah Burhan.

Dengan gaya yang unik, latar belakang aktivisme yang kuat, serta keberanian menembus sekat-sekat tradisional dalam politik nasional, Dedi Mulyadi menurut Burhan kini merupakan kepala daerah paling populer di Indonesia.

“Hari ini tidak ada kepala daerah gubernur atau bupati yang mengalahkan popularitasnya KDM,” pungkasnya.

Artikel ini telah tayang di TribunJakarta.com dengan judul Muncul Istilah Mulyono Jilid II, Pengamat Ungkap Perbedaan Telak Dedi Mulyadi dengan Jokowi

https://bandung.kompas.com/read/2025/05/13/183238178/beda-dari-jokowi-dedi-mulyadi-disebut-mampu-geser-jakarta-dari-sorotan

Terkini Lainnya

Dukung Konservasi, Bulog Kembangkan Jambu Air Camplong di Sampang
Dukung Konservasi, Bulog Kembangkan Jambu Air Camplong di Sampang
Regional
Jelang Nataru, KAI Edukasi Keselamatan di Perlintasan Sebidang Surabaya Gubeng
Jelang Nataru, KAI Edukasi Keselamatan di Perlintasan Sebidang Surabaya Gubeng
Regional
Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Regional
Tersangka dari Balai Kota
Tersangka dari Balai Kota
Regional
Saat Ungkapan 'Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua' Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Saat Ungkapan "Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua" Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Regional
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Regional
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Regional
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Regional
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan 'CSR', tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan "CSR", tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Regional
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Regional
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Regional
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Regional
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com