BANDUNG, KOMPAS.com - Gubernur Jawa Barat mengeluarkan sejumlah kebijakan kontroversial terkait tujuannya meningkatkan sumber daya manusia (SDM) yang disiplin dan berkualitas di Jawa Barat.
Kebijakan kontroversial itu di antaranya ialah pendidikan siswa di barak militer, jam malam bagi pelajar, hingga masuk sekolah pukul 06.30 pagi.
Menanggapi hal ini, Guru Besar Bimbingan dan Konseling (Psikologi Pendidikan) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Prof. Dr. Jutnika Nurihsan, menyatakan dukungan terhadap kebijakan yang bertujuan untuk mengembangkan potensi siswa-siswi di Jabar.
Dengan catatan, selama hal itu dilakukan untuk kepentingan anak sesuai dengan minat, bakat, dan kepribadiannya, serta dilakukan dengan penuh cinta kasih dan tanggung jawab.
"Jadi, pada prinsipnya saya setuju upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, selama itu sesuai dengan tadi minat, bakat, kepribadian, dan tentunya dengan penuh tanggung jawab dan cinta kasih," kata Jutnika saat dihubungi pada Rabu (4/6/2025).
"Karena pendidikan itu ujung-ujungnya ya harus bertanggung jawab. Siapa yang bertanggung jawab? Anaknya sendiri sebetulnya," tuturnya.
Namun, ia mengingatkan seluruh kebijakan pendidikan harus dilakukan secara sinergis sehingga dalam prosesnya harus ada sinkronisasi antara kebijakan pemerintah daerah dan pemerintah pusat.
Jutnika menegaskan, pendidikan yang efektif tidak bisa berdiri sendiri, melainkan harus melibatkan berbagai pihak, baik dari keluarga, masyarakat, tokoh masyarakat, hingga pemerintah.
"Kuncinya harus ada koordinasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Karena bagaimanapun kita kan NKRI ya. Intinya koordinasi. Kan pendidikan tanggung jawab bersama," ujar Prof. Jutnika.
Jutnika juga menyoroti pentingnya keselarasan kebijakan dengan fitrah anak, yaitu kebutuhan dasar anak tumbuh dalam lingkungan yang penuh kasih sayang, bimbingan, dan tanggung jawab.
Terkait dengan pendekatan program barak militer, jam malam, dan jam masuk sekolah pagi 06.30, Jutnika menyebut selama tidak bertentangan dengan fitrah anak untuk berkembang dengan baik, hal ini tentu tak bertentangan.
Akan tetapi, jika bertentangan dengan fitrah dan potensi anak, kebijakan itu perlu dikaji kembali.
"Fitrah anak itu kan anak itu perlu dibantu dengan penuh kasih sayang, penuh tanggung jawab, dan anaknya harus dilibatkan dalam kegiatan ini dengan penuh," katanya.
"Saya katakan kunci pendidikan itu kan kasih sayang. Jadi, jangan sampai anak-anak itu merasa terancam, harus dengan penuh kasih sayang," tuturnya.
Tanggung Jawab Bersama
Jutnika berharap setiap kebijakan dapat dikomunikasikan secara efektif dengan berbagai pihak, baik pemerintah, masyarakat, hingga orangtua, mengingat pendidikan anak ini menjadi tanggung jawab bersama, tak bisa hanya mengandalkan salah satu pihak.
Setiap kebijakan bisa dikaji lebih dalam, baik secara teknis maupun psikologisnya.
Menurut dia, pendekatan dalam pendidikan ada berbagai macam cara bijak.
Jika pendekatannya terlalu behavioristik, perlu dilengkapi dengan pendekatan lain seperti humanistik, kognitif, dan emotif.
"Maksud saya, keseluruhan potensi anak itu harus diperhatikan. Bukan hanya dari sisi perilaku yang tampak dan tidak tampak," ucapnya.
"Contoh, bagaimana anak itu dididik cara berpikirnya, itu harus dialog kalau cara berpikir itu. Bagaimana anak itu harus punya ketulusan, kesadaran untuk disiplin, nah itu tidak hanya dengan konseling. Tidak bisa dengan hanya satu cara, tetapi berbagai macam cara. Jangan terjebak dengan satu cara. Kita harus menggunakan berbagai macam cara yang bijak," ucapnya.
Dalam penyelenggaraan pendidikan, ia menekankan perlunya melibatkan guru secara menyeluruh di tiga hal ini, yakni pengajaran, konseling atau guru BK, dan juga keterampilan, agar pembinaan anak berjalan menyeluruh dan berkesinambungan.
"Guru BK, guru olahraga, guru kesenian itu penting, jadi guru itu dilibatkan bukan hanya guru mata pelajaran, guru konseling atau BK, dan juga guru-guru olahraga, kesenian, dan sebagainya," ucapnya.
Namun, yang paling penting, kata Jutnika, pendidikan itu harus ditekankan dari rumah.
"Yang paling penting itu, mohon maaf, pendidikan itu di rumah. Jadi, bukan di sekolah. Yang paling penting itu di rumah. Informal education, itu yang paling penting," ucapnya.
"Jadi, sebetulnya keluarga, pemerintah, dan masyarakat harus bekerja sama. Jangan hanya mengandalkan satu unsur saja," katanya.
https://bandung.kompas.com/read/2025/06/04/190501978/tanggapi-kebijakan-dedi-mulyadi-guru-besar-upi-kuncinya-kasih-sayang-jangan