Salin Artikel

Banjir Cimindi Datang Tepat Waktu dan Negara yang Selalu Absen

CIMAHI, KOMPAS.com - Warga Cimindi kembali bersiap menghadapi banjir yang datang seperti siklus tak berujung.

Pada Rabu malam, 2 Juli 2025, hujan deras mengguyur kawasan tersebut, mengakibatkan genangan air yang merenggut ruang hidup masyarakat, terutama di Jalan Jenderal Haji Amir Machmud, yang menjadi perbatasan antara Kota Cimahi dan Kota Bandung.

Genangan air tidak hanya melumpuhkan arus lalu lintas, tetapi juga menghambat akses ke Perumahan Graha Indah di Kelurahan Sukaraja, Kecamatan Cicendo, Kota Bandung.

Kios-kios kecil di pinggir jalan menjadi korban pertama dari banjir yang kembali menerjang.

"Iya banjir (tadi malam) jam 8 lewatlah, ini masuk kios, lumpur semua ini," ujar Fauziah, pemilik kios, saat ditemui pada Kamis (3/7/2025).

"Tahun ini juga udah tiga kali (banjir)," tambah dia dengan suara datar, mencerminkan kelelahan dan ketidakberdayaan yang telah menjadi bagian dari rutinitasnya.

Pedagang lainnya, Safrin, merasakan dampak serupa.

"Jam setengah sembilan, tiap tahun. Ini buangan air dari atas gede. Tadi malam banjir sedengkul," tuturnya, menunjukkan betapa seringnya fenomena ini terjadi.

Mendadak Jadi Sungai

Di Perumahan Graha Indah, jalan masuk ke rumah-rumah warga berubah menjadi sungai mendadak, dengan lumpur setebal 15 sentimeter yang harus dikeruk secara manual oleh petugas keamanan.

"Ini lumpur sekitar 15 sentimeter tebalnya, kami keruk, biar bisa masuk kendaraan," kata Muhamad Dede Jaenudin, pria 48 tahun yang akrab disapa Dede.

Dede mengungkapkan, banjir ini bukanlah hal baru.

"Ini banjir tahunan, setahun dua kali. Biasanya November atau Desember, ini Juli udah banjir. Tadi malam sekitar 1-2 meter," ujarnya.

Ia menuding gorong-gorong kecil di bawah jalan raya sebagai penyebab utama banjir.

"Kalau perkiraan saya itu karena gorong-gorong saluran air terlalu kecil, tidak bisa menampung jadi meluap ke jalan ini," ungkapnya.

Meskipun Cimindi merupakan bagian dari kawasan metropolitan, warga merasa terkurung dalam lingkungan yang diabaikan.

Air dari kawasan Setraduta, Aruman, Sariwangi, dan Babakan Loa seolah menjadikan Graha Indah sebagai muara paksa.

"Air dari kawasan atas ke sini. Sungainya udah lumayan besar, tapi pas nyampe sini, gorong-gorongnya nggak bisa menampung. Jadi airnya balik," jelas Dede.

Kekhawatiran warga semakin mendalam, dan mereka hanya bisa berharap agar ada perhatian dari pemerintah.

"Instansi pemerintah khususnya Kota Bandung, lihatlah ke warga Kompleks Graha Indah, banjir seperti ini. Udah tahunan, tolong diperhatikan, kasihan," tutup Dede.

Setiap kali banjir melanda, yang tergenang bukan hanya jalan dan rumah, tetapi juga kepercayaan warga terhadap pemerintah yang diharapkan dapat melindungi mereka.

Janji Normalisasi Sungai Cimindi

Namun, di tengah keluhan yang terus mengalir seperti lumpur yang tak pernah kering, secercah upaya mulai dibuka oleh Pemerintah Kota Cimahi.

Mereka berjanji akan melakukan normalisasi aliran Sungai Cimindi—sungai yang selama ini menanggung beban air dari hulu dan beban abai dari kebijakan yang lambat.

“Kami akan melakukan normalisasi berupa pengerukan material sedimen sepanjang sungai. Semoga bisa mengurangi limpasan air ke jalan,” ucap Wakil Wali Kota Cimahi, Adhitia saat ditemui terpisah.

Sungai yang dulunya lebar dan dalam, kini menyempit dan dangkal seperti kerongkongan yang menolak bicara tentang kegagalan perencanaan kota.

Pendangkalan yang terjadi bukan perkara baru. Lumpur dan sedimen mengendap seiring waktu, ditambah kiriman sampah dari kawasan hulu.

Sungai tak lagi mampu menampung amarah langit yang tumpah saat hujan deras, dan jalan raya menjadi korban berikutnya.

Selain pengerukan, pelebaran sungai yang telah lama direncanakan pun kembali disebut-sebut.

Pemkot Cimahi mengklaim telah merampungkan pembebasan lahan, sementara eksekusi fisiknya kini menjadi tugas Badan Besar Wilayah Sungai (BBWS), institusi yang diharapkan tak hanya menggali tanah, tapi juga menggali kepercayaan yang sempat mengering.

Di mata warga, semua rencana ini tak ubahnya janji yang mengambang di permukaan air keruh. Mereka tak butuh pidato panjang, cukup saluran yang mengalir lancar.

Karena bagi mereka, banjir bukan sekadar air yang datang, tapi peringatan bahwa negara masih sering tiba terlambat, bahkan untuk sekadar melihat.

https://bandung.kompas.com/read/2025/07/03/174236378/banjir-cimindi-datang-tepat-waktu-dan-negara-yang-selalu-absen

Terkini Lainnya

Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Regional
Tersangka dari Balai Kota
Tersangka dari Balai Kota
Regional
Saat Ungkapan 'Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua' Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Saat Ungkapan "Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua" Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Regional
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Regional
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Regional
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Regional
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan 'CSR', tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan "CSR", tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Regional
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Regional
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Regional
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Regional
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Regional
Demi Dapat Internet, Warga Padati Kantor Bupati Aceh Tengah: Ada Mahasiswa Kerjakan Tugas, atau Hubungi Keluarga
Demi Dapat Internet, Warga Padati Kantor Bupati Aceh Tengah: Ada Mahasiswa Kerjakan Tugas, atau Hubungi Keluarga
Regional
KUHAP Sudah Diketok, tapi Aktivis Gen Z Sukabumi Tetap Resah, Kenapa?
KUHAP Sudah Diketok, tapi Aktivis Gen Z Sukabumi Tetap Resah, Kenapa?
Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com