Salin Artikel

Keluhkan SPMB ala Dedi Mulyadi, Orangtua: Kami Kelas Menengah Bingung

Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menerapkan kebijakan yang mempermudah penerimaan bagi warga yang berdomisili dekat sekolah dan bagi mereka yang berstatus miskin, sesuai dengan data dari Dinas Sosial.

Jalur penerimaan tersebut memungkinkan pendaftar untuk diterima tanpa melalui tes, dengan seleksi berdasarkan jarak terdekat dari rumah ke sekolah.

Proses ini dilaksanakan pada tahap pertama yang berlangsung pada Juni 2025.

Bagi pendaftar yang tidak lolos, terdapat kesempatan untuk mendaftar kembali pada tahap kedua dengan kebijakan "Kursi Panjang" yang mengatur jumlah siswa per kelas dari 36 menjadi 50.

Sementara itu, siswa yang memiliki prestasi baik, baik dalam akademik maupun non-akademik, akan mengikuti seleksi pada tahap kedua.

Mereka yang tidak lolos ke sekolah negeri akan dialihkan ke sekolah swasta.

Namun, para calon siswa berprestasi ini harus menjalani serangkaian tes kompetensi dan tes terstandar yang dilaksanakan secara daring oleh Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat.

Nurohmah Setiani (53), salah satu orang tua siswa, menyampaikan keprihatinannya.

"Kasihan bagi anak-anak yang berprestasi dengan penerimaan di tahap kedua dan harus mengikuti tes terstandar. Jika domisili dan afirmasi sudah banyak kuotanya, mereka mudah masuk tanpa tes. Nanti, di sekolahnya kan sama belajarnya, tidak ada bedanya. Bingung jadinya aturan pimpinan kita sekarang untuk SMA dan SMK Negeri tahun ini," ujarnya.

Nurohmah menambahkan bahwa status ekonomi kalangan menengah seperti dirinya paling dirugikan oleh keputusan pemerintah saat ini.

Meskipun ia masih berharap anaknya bisa masuk ke salah satu sekolah negeri di Tasikmalaya lewat jalur prestasi, ia merasa cemas.

"Saya sudah dua minggu kurang tidur terus memikirkan anak, khawatir karena ada tes. Jika tahap pertama tanpa tes dan kuota banyak, kami dari kalangan menengah paling rugi," ungkapnya.

Senada dengan Nurohmah, Rino Burman (48), yang juga warga Tasikmalaya, mengungkapkan kekecewaannya.

Anaknya yang masuk jalur berprestasi tidak diterima dan terpaksa bersekolah di salah satu sekolah swasta terkenal.

Ia berharap keadilan dalam pendidikan tidak hanya diberikan kepada kalangan miskin.

"Seharusnya diseleksi pendidikan itu sesuai kemampuan dan prestasi siswa. Niat bagus membantu yang kesusahan, tapi jangan sampai merugikan orang lain. Tapi, tidak apa-apa, anak saya sekolah di swasta saja. Ikhlas, nanti juga ada balasannya sendiri dari Tuhan bagi yang salah dalam mengeluarkan kebijakan," katanya.

Proses SPMB untuk SMA dan SMK Negeri di Jawa Barat telah selesai dilaksanakan pada tahap pertama dan kedua untuk siswa baru angkatan tahun 2025/2026.

Kebijakan baru yang diterapkan Gubernur Dedi Mulyadi ini berpotensi mengancam keberlangsungan sekolah swasta di Jawa Barat akibat kekurangan murid, seiring dengan pemberlakuan kursi panjang yang mengizinkan 50 murid per kelas.

https://bandung.kompas.com/read/2025/07/10/145011278/keluhkan-spmb-ala-dedi-mulyadi-orangtua-kami-kelas-menengah-bingung

Terkini Lainnya

Dukung Konservasi, Bulog Kembangkan Jambu Air Camplong di Sampang
Dukung Konservasi, Bulog Kembangkan Jambu Air Camplong di Sampang
Regional
Jelang Nataru, KAI Edukasi Keselamatan di Perlintasan Sebidang Surabaya Gubeng
Jelang Nataru, KAI Edukasi Keselamatan di Perlintasan Sebidang Surabaya Gubeng
Regional
Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Regional
Tersangka dari Balai Kota
Tersangka dari Balai Kota
Regional
Saat Ungkapan 'Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua' Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Saat Ungkapan "Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua" Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Regional
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Regional
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Regional
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Regional
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan 'CSR', tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan "CSR", tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Regional
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Regional
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Regional
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Regional
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com