Ia menegaskan, dalam kondisi tertentu, pemerintah perlu mengambil langkah taktis demi menjamin akses pendidikan bagi seluruh masyarakat.
Salah satu langkah tersebut adalah kebijakan penambahan kuota rombongan belajar (rombel) hingga 50 siswa per kelas di sekolah negeri.
Kebijakan ini menuai protes dari sejumlah sekolah swasta yang merasa dirugikan, khususnya saat penerimaan peserta didik baru.
“Semua demi menyelamatkan masa depan pendidikan anak-anak,” ujar Dedi kepada Kompas.com usai menghadiri Rapat Paripurna DPRD dalam rangka Hari Jadi Cianjur ke-348, Sabtu (12/7/2025).
Dedi juga membantah tudingan adanya praktik “bajak-membajak” siswa oleh sekolah negeri terhadap calon peserta didik dari sekolah swasta.
“Tidak ada bajak-membajak siswa. Tugas gubernur adalah menjaga stabilitas pendidikan. Yang terpenting bagi saya, rakyat bisa bersekolah dengan baik dan dibiayai oleh negara,” tegasnya.
Menurut Dedi, sekolah swasta yang dikelola secara profesional tetap diminati dan bahkan lebih cepat penuh dibanding sekolah negeri.
“Malah banyak yang lebih dulu daftar ke swasta, padahal biayanya mahal. Ada yang iurannya Rp500.000 per bulan,” ujarnya.
“Artinya, semua tergantung pada kualitas sekolah swasta itu sendiri,” sambung Dedi.
Seperti diketahui, Pemerintah Provinsi Jawa Barat melalui kebijakan Gubernur Dedi Mulyadi memutuskan menambah kapasitas rombongan belajar di SMA dan SMK negeri hingga maksimal 50 siswa per kelas.
Kebijakan ini diambil untuk menekan angka anak putus sekolah di wilayah Jawa Barat.
Namun, keputusan tersebut memicu keberatan dari sejumlah sekolah swasta yang menganggap kebijakan itu menyebabkan mereka kehilangan calon peserta didik.
https://bandung.kompas.com/read/2025/07/13/190338878/mengapa-dedi-mulyadi-tak-libatkan-sekolah-swasta-soal-kebijakan-kuota-rombel