Salin Artikel

Dedi Mulyadi: Saya Digugat karena Jalankan Kewajiban Negara Mendidik Anak Bangsa

Gugatan tersebut dilayangkan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung oleh sejumlah sekolah yang merasa terdampak karena kebijakan itu dinilai menyebabkan turunnya minat pendaftar ke sekolah swasta.

Namun Dedi menegaskan, kebijakan tersebut tidak melanggar hukum, apalagi merugikan secara material seperti dalam kasus monopoli bisnis.

"Ini bukan keputusan tata usaha yang merugikan secara material. Ini soal pendidikan, bukan bisnis tender yang menyebabkan yang lain kalah bersaing. Sekolah yang menggugat harus bisa membuktikan bahwa mereka benar-benar dirugikan oleh kebijakan ini," ujar Dedi saat dikonfirmasi Kompas.com via telepon, Rabu (6/8/2025).

Dedi mengatakan, pihaknya mengeluarkan kebijakan rombel maksimal 50 orang per kelas di SMA negeri karena ia ingin semua anak di Jawa Barat mengenyam pendidikan tanpa terkendala masalah biaya.

Dengan demikian, ia menegaskan bahwa kebijakan tersebut adalah bagian dari kewajiban negara untuk pendidikan masyarakat. Kemudian kewajiban negara itu kini jadi objek gugatan.

"Jadi ini saya digugat karena menjalankan kewajiban negara untuk mendidik anak bangsa," kata Dedi.

"Ini Kompetisi, Bukan Monopoli Pendidikan"

Dedi Mulyadi menyebut fenomena SMA swasta sepi bukan karena kebijakannya. Ia menilai, hal ini lebih tepat disebut sebagai dampak dari kompetisi antar-sekolah, bukan dominasi yang kemudian bisa digugat.

Ia menilai, daya saing sekolah menjadi faktor utama menurunnya jumlah siswa di beberapa lembaga pendidikan swasta.

"Kalau SMA-nya menarik, orang pasti tetap sekolah di situ. Kenapa sampai 50 per kelas? Karena banyak yang minat, karena sekolahnya bagus. Minat masyarakat tinggi, bukan karena dipaksa," kata Dedi.

Ia mencontohkan sekolah-sekolah swasta favorit tetap penuh, bahkan tidak kekurangan murid, meskipun berada dalam lingkungan yang sama dengan sekolah negeri.

Daya Saing dan Gengsi Sekolah Jadi Faktor

Menurut Dedi, banyak sekolah swasta yang justru menghadapi masalah karena kurang kompetitif, baik dari sisi biaya maupun kualitas.

Ia menyebut sebagian sekolah swasta lebih mahal namun tidak sebanding dengan fasilitas dan gengsi yang ditawarkan.

"Masyarakat juga berpikir, buat apa bayar mahal kalau kualitasnya biasa saja? Yang favorit (berkualitas) tetap penuh, bahkan rebutan murid," tegasnya.

Ia menyebut, sejak beberapa tahun terakhir, terdapat penambahan sekitar 64 sekolah swasta baru di Jawa Barat, yang turut memicu kompetisi antar-sekolah swasta sendiri.

Bantuan Pemerintah untuk Sekolah Swasta Tetap Jalan

Terkait anggapan bahwa sekolah negeri mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah, Dedi menegaskan bahwa sekolah swasta pun mendapat bantuan operasional, seperti BOS dan BPMU (Bantuan Pendidikan Menengah Universal) dari APBD dan APBN.

"Silakan cek data, dua pertiga anggaran pendidikan di APBN bahkan mengalir ke sekolah swasta. Mereka juga dibantu pembangunan fisik, operasional, dan sebagainya. Artinya, posisi mereka setara secara bantuan negara," jelasnya.

Bahkan, Dedi dengan tegas menantang untuk melakukan audit terhadap penggunaan dana BPMU di sekolah swasta yang menggugat tersebut.

"Kalau Sekolahnya Sepi, Jangan Salahkan Pemerintah"

Dedi Mulyadi mempertanyakan logika gugatan yang menyebut kebijakannya menyebabkan sekolah swasta kehilangan siswa.

"Kalau sekolahnya memang dari dulu sepi, lalu tiba-tiba ada kebijakan rombel 50 orang, terus itu dijadikan alasan? Ini kayak ojek pangkalan menggugat Gojek karena sepi, padahal masalah utamanya ada pada daya tarik dan layanan," sindir Dedi.

Ia menambahkan, jika pengadilan menyatakan kebijakan itu salah, maka pemerintah daerah bisa saja mencabut 47.000 siswa tambahan yang kini diterima di sekolah negeri di Jawa Barat, dan memaksa mereka pindah ke sekolah swasta.

"Misalnya kalau gugatan diterima, silakan saja hakim keluarkan 47.000 siswa tambahan itu dari Dapodik, dan mereka mau nggak keluar dari sekolah negeri ke swasta? Pasti nggak mau," kata Dedi.

Komersialisasi Pendidikan Jadi Akar Masalah

Lebih lanjut, Dedi juga menyinggung soal komersialisasi pendidikan yang dilakukan oleh sejumlah sekolah swasta.

Menurutnya, banyak sekolah swasta yang lebih fokus menjadikan lembaganya sebagai ladang bisnis ketimbang pusat pendidikan.

"Silakan saja gugat, atau bahkan minta BPMU dihapus sekalian. Kalau berani, saya setuju. Atau kita audit bareng-bareng, apakah bantuan itu dipakai sesuai peruntukannya atau tidak," ujar Dedi.

8 Organisasi Sekolah Swasta Gugat Dedi Mulyadi

Diberitakan sebelumnya, sebanyak delapan organisasi sekolah swasta tingkat SMA resmi mengajukan gugatan terhadap Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung.

Gugatan ini terkait Keputusan Gubernur Jabar Nomor 463.1/Kep.323-Disdik/2025 tentang Petunjuk Teknis Pencegahan Anak Putus Sekolah (PAPS) melalui penambahan rombongan belajar (rombel) di sekolah negeri menjadi maksimal 50 siswa per kelas.

Keputusan tersebut dikeluarkan pada 26 Juni 2025, dan gugatan diajukan pada 31 Juli 2025. Perkara tersebut kini telah teregistrasi dengan nomor 121/G/2025/PTUN.BDG dan akan mulai disidangkan dengan agenda pemeriksaan berkas pada Kamis, 7 Agustus 2025 pukul 10.00 WIB.

PTUN Bandung Tetapkan Jadwal Persidangan

Menurut Humas PTUN Bandung, Enrico Simanjuntak, gugatan diajukan langsung kepada Gubernur Jawa Barat yang nantinya akan diwakili oleh kuasa hukum dari Biro Hukum Pemprov Jabar.

“Gugatannya sudah terdaftar sejak 31 Juli. Ketua pengadilan juga sudah menetapkan majelis hakim dan jadwal persidangan,” ujar Enrico kepada wartawan, Rabu (6/8/2025).

Proses awal berupa pemeriksaan formalitas gugatan akan dilakukan terlebih dahulu oleh majelis. Setelah itu, proses hukum akan memasuki tahap pembacaan gugatan, jawaban tergugat, replik, duplik, pembuktian, kesimpulan, hingga putusan akhir.

Alasan Gugatan: Sekolah Swasta Merasa Tersisih

Delapan organisasi sekolah swasta yang menjadi penggugat menyatakan bahwa kebijakan rombongan belajar sebanyak 50 siswa per kelas di sekolah negeri berdampak buruk pada kelangsungan sekolah swasta.

Mereka mengklaim bahwa kebijakan tersebut menyebabkan penurunan jumlah pendaftar ke sekolah swasta, yang pada akhirnya mengganggu keberlangsungan lembaga pendidikan mereka.

Berikut adalah daftar organisasi penggugat:

1. Forum Kepala Sekolah SMA Swasta Provinsi Jawa Barat

2. Badan Musyawarah Perguruan Swasta Kabupaten Bandung

3. Badan Musyawarah Perguruan Swasta Kabupaten Cianjur

4. Badan Musyawarah Perguruan Swasta Kota Bogor

5. Badan Musyawarah Perguruan Swasta Kabupaten Garut

6. Badan Musyawarah Perguruan Swasta Kota Cirebon

7. Badan Musyawarah Perguruan Swasta Kabupaten Kuningan

8. Badan Musyawarah Perguruan Swasta Kota Sukabumi

https://bandung.kompas.com/read/2025/08/06/173552078/dedi-mulyadi-saya-digugat-karena-jalankan-kewajiban-negara-mendidik-anak

Terkini Lainnya

Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Regional
Tersangka dari Balai Kota
Tersangka dari Balai Kota
Regional
Saat Ungkapan 'Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua' Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Saat Ungkapan "Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua" Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Regional
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Regional
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Regional
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Regional
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan 'CSR', tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan "CSR", tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Regional
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Regional
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Regional
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Regional
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Regional
Demi Dapat Internet, Warga Padati Kantor Bupati Aceh Tengah: Ada Mahasiswa Kerjakan Tugas, atau Hubungi Keluarga
Demi Dapat Internet, Warga Padati Kantor Bupati Aceh Tengah: Ada Mahasiswa Kerjakan Tugas, atau Hubungi Keluarga
Regional
KUHAP Sudah Diketok, tapi Aktivis Gen Z Sukabumi Tetap Resah, Kenapa?
KUHAP Sudah Diketok, tapi Aktivis Gen Z Sukabumi Tetap Resah, Kenapa?
Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com