Salin Artikel

Duduk Perkara Dedi Mulyadi Digugat karena Rombel, hingga Berujung Pencabutan Gugatan

BANDUNG, KOMPAS.com – Kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi soal penambahan jumlah siswa dalam satu rombongan belajar (rombel) hingga 50 orang di sekolah negeri memicu polemik panjang.

Delapan organisasi sekolah swasta sempat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung, namun sebagian gugatan itu akhirnya dicabut.

Gugatan dilayangkan karena kebijakan rombel dinilai mengurangi penerimaan siswa baru di sekolah swasta.

“Gugatan kami menuntut gubernur mencabut kebijakannya. Sebab, kebijakan ini mengakibatkan penerimaan siswa baru di ribuan sekolah swasta menurun drastis. Bahkan ada sekolah hanya satu siswa baru,” kata Alex Edward, kuasa hukum para penggugat, Kamis (7/8/2025).

Latar Belakang Kebijakan

Kebijakan yang digugat tertuang dalam Keputusan Gubernur Jabar Nomor 463.1/Kep.323-Disdik/2025 tentang Petunjuk Teknis Pencegahan Anak Putus Sekolah ke Jenjang Pendidikan Menengah.

Aturan tersebut memperbolehkan SMA dan SMK negeri menerima hingga 50 siswa dalam satu rombel, dengan menyesuaikan kapasitas ruang kelas.

Menurut para penggugat, kebijakan itu membuat calon siswa lebih memilih sekolah negeri yang biaya pendidikannya gratis, sehingga sekolah swasta kehilangan murid baru.

“Sekolah swasta terancam ditutup jika tak ada penerimaan siswa baru. Ini juga akan berpotensi menambah jumlah pengangguran di Jabar,” ujar Alex.

Forum Kepala Sekolah SMA Swasta (FKSS) Jabar bahkan mencatat, hingga Juli 2025 sekitar 95 persen dari 3.858 sekolah menengah swasta di Jawa Barat belum mencapai 50 persen target penerimaan siswa baru.

Respons Dedi Mulyadi

Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi merespons gugatan itu dengan tenang. Ia menyebut langkah hukum sekolah swasta sebagai bentuk partisipasi warga negara dalam demokrasi.

“PTUN itu hak setiap orang untuk menggugat. Bagi saya, justru saya merasa berbahagia karena ini menunjukkan bahwa Gubernur Jabar bekerja,” ujar Dedi.

Dedi menegaskan, kebijakan rombel 50 siswa justru berhasil menampung 47.000 siswa baru di sekolah negeri secara gratis.

“Mereka menggugat kebijakan untuk menyelamatkan puluhan ribu anak agar bisa bersekolah di sekolah pemerintah secara gratis. Bahkan, dalam perubahan anggaran, kami juga siapkan pakaian dan sepatu untuk mereka,” katanya.

Ia menambahkan, penurunan siswa di sekolah swasta tidak serta merta akibat kebijakan rombel.

“Tahun ini saja ada lebih dari 60 sekolah swasta baru. Kami akan petakan, apakah penurunan siswa ini memang karena rekrutmen di sekolah negeri atau bukan,” ucapnya.

Proses Gugatan di PTUN

Gugatan yang diajukan pada 31 Juli 2025 itu terdaftar dengan nomor perkara 121/G/2025/PTUN.BDG.

Proses sidang sempat memasuki tahap dismissal atau pemeriksaan awal, untuk menilai apakah gugatan memenuhi syarat formil dan materiil.

Humas PTUN Bandung, Enrico Simanjuntak, mengatakan Gubernur Jawa Barat menjadi pihak tergugat, yang biasanya diwakili Biro Hukum Pemprov.

“Benar yang menjadi tergugatnya nanti adalah Gubernur, dalam hal ini Gubernur Provinsi Jawa Barat,” ujar Enrico, Rabu (6/8/2025).

Berujung Pencabutan Gugatan

Namun, perkembangan terbaru menunjukkan sebagian pihak mencabut gugatan tersebut.

Berdasarkan data Dinas Pendidikan Jawa Barat, sebanyak 15 Forum Kepala Sekolah Swasta (FKSS) kabupaten/kota menyatakan menarik dukungan dari gugatan di PTUN.

Mereka berasal dari Kabupaten Bogor, Subang, Karawang, Purwakarta, dan Cianjur. Lalu Kabupaten Bandung Barat, Kota Cimahi, Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Sumedang, Garut, Tasikmalaya, Kota Tasikmalaya, Kota Cirebon, dan Kabupaten Kuningan.

Kepala Dinas Pendidikan Jawa Barat, Purwanto, membenarkan hal itu.

“Beberapa FKSS di daerah ada yang tidak mendukung PTUN,” ujarnya, Jumat (15/8/2025).

Pendidikan Gratis dan Kelangsungan Sekolah Swasta

Duduk perkara dari konflik ini berawal dari perbedaan pandangan mengenai hak anak memperoleh pendidikan gratis di sekolah negeri dengan kapasitas yang lebih besar, versus keberlangsungan sekolah swasta yang bergantung pada jumlah murid baru.

Bagi Pemprov Jawa Barat, kebijakan rombel adalah upaya menekan angka putus sekolah.

Namun bagi sekolah swasta, aturan itu dianggap ancaman serius terhadap keberlangsungan usaha pendidikan.

Kini, sebagian gugatan sudah dicabut, namun polemik rombel masih menyisakan tanda tanya: bagaimana pemerintah bisa menyeimbangkan antara pemerataan akses pendidikan dan kelangsungan hidup sekolah swasta di Jawa Barat.

https://bandung.kompas.com/read/2025/08/16/090557378/duduk-perkara-dedi-mulyadi-digugat-karena-rombel-hingga-berujung-pencabutan

Terkini Lainnya

Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Regional
Tersangka dari Balai Kota
Tersangka dari Balai Kota
Regional
Saat Ungkapan 'Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua' Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Saat Ungkapan "Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua" Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Regional
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Regional
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Regional
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Regional
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan 'CSR', tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan "CSR", tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Regional
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Regional
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Regional
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Regional
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Regional
Demi Dapat Internet, Warga Padati Kantor Bupati Aceh Tengah: Ada Mahasiswa Kerjakan Tugas, atau Hubungi Keluarga
Demi Dapat Internet, Warga Padati Kantor Bupati Aceh Tengah: Ada Mahasiswa Kerjakan Tugas, atau Hubungi Keluarga
Regional
KUHAP Sudah Diketok, tapi Aktivis Gen Z Sukabumi Tetap Resah, Kenapa?
KUHAP Sudah Diketok, tapi Aktivis Gen Z Sukabumi Tetap Resah, Kenapa?
Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com