Di depan kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Ciamis, sekelompok massa tak dikenal mengamuk. Kaca-kaca kantor pemerintahan itu retak dan pecah, menyisakan puing-puing dan juga keresahan.
Namun, di balik kerusakan fasilitas umum, ada jeritan lain yang lebih memilukan, nasib pedagang kecil di sekitar lokasi. Mereka terpaksa menutup warung, kehilangan pendapatan, bahkan sesak napas di tengah semburan gas air mata.
Otoy, seorang pedagang berusia 70 tahun, masih ingat betul detik-detik mencekam itu. Dengan wajah penuh kerutan yang menyimpan cerita puluhan tahun berjualan, ia menceritakan bagaimana gas air mata membuatnya tersengal.
“Saya sampai merangkak cari air buat usap mata yang perih,” ujar dia, Minggu (31/8/2025), sambil menunjuk dagangan minuman ringannya di seberang gedung DPRD.
Warung kecilnya, yang biasanya ramai pembeli, terpaksa tutup lebih cepat. “Dagangan masih banyak, tapi apa boleh buat, harus tutup,” keluh dia.
Tak jauh dari Otoy, Muna, pedagang berusia 21 tahun, juga bergegas menutup lapaknya saat kerusuhan pecah hari itu.
“Saya takut tempat usaha kena imbas,” kata dia.
Baginya, demonstrasi seharusnya mempunyai tujuan jelas dan dilakukan dengan cara yang baik.
“Kalau mau demo, sampaikan dengan tertib. Kemarin itu langsung rusak-rusak,” ujar dia dengan nada kesal.
Muna menegaskan, Kantor DPRD yang dirusak bukan sekadar bangunan, melainkan fasilitas yang dibiayai pajak rakyat—termasuk pajak dari para pedagang kecil seperti dia.
“Ya, kan pakai uang rakyat buat rawat kantor itu,” sebut dia.
Sahdi, pedagang lain berusia 81 tahun, menambahkan lapisan lain pada kisah ini. Dengan pengalaman panjang sebagai pedagang, ia pernah melihat berbagai demonstrasi di depan DPRD Ciamis.
“Dulu pernah ada demo, massa lebih banyak, tapi aman, tidak anarkis. Malah pedemo pada jajan di warung,” kenang dia dengan senyum tipis.
Namun, Sabtu petang kemarin berbeda. “Kemarin merusak. Silakan sampaikan pendapat, tapi jangan rusak,” tegas dia.
Bagi Sahdi, aksi anarkis bukan hanya merugikan Pemerintah, tapi juga pedagang kecil seperti dia, yang harus menutup warung dan kehilangan penghasilan harian.
Kisah Otoy, Muna, dan Sahdi adalah potret nyata dari dampak kerusuhan yang sering terlupakan.
Di tengah sorotan pada kaca pecah dan gedung rusak, nasib pedagang kecil ini kerap tenggelam.
Mereka bukan bagian dari demonstrasi, tak punya kaitan dengan tuntutan massa, tapi justru menjadi korban tak terduga.
Sesak napas, ketakutan, dan warung yang tutup lebih awal adalah harga yang mereka bayar untuk kekacauan yang tak mereka ciptakan.
https://bandung.kompas.com/read/2025/08/31/111310978/kaca-pecah-warung-tutup-jerit-pedagang-kecil-di-tengah-aksi-merusak-di