BANDUNG, KOMPAS.com - Kediaman Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, di Lembur Pakuan, Kabupaten Subang, kini tidak hanya menjadi lokasi wisata, tetapi juga pusat pengaduan bagi warga yang menghadapi berbagai persoalan hidup.
Setiap hari, puluhan orang mengantre untuk menyampaikan keluh kesah mereka. Mulai dari permintaan bantuan pendidikan anak, masalah hukum, hingga laporan kepada aparat penegak hukum (APH) yang belum ditindaklanjuti.
"Ada yang datang anaknya sekolah minta dibantuin tas, sepatu, dan sejenisnya. Ada yang datang juga karena masalah utang piutang, dan ada yang datang sekadar ingin foto, atau curhat masalah keluarga," ungkapnya dalam keterangan tertulisnya, Rabu (10/9/2025).
Melihat jumlah pengaduan yang terus meningkat, Gubernur Dedi akhirnya memutuskan untuk membentuk posko khusus yang menampung keluhan warga.
Pihaknya juga menyediakan makanan dan bantuan transportasi bagi warga yang kesulitan pulang ke rumah.
"Karena yang datang kami perhatikan punya kebutuhan untuk makan, sehingga kami siapkan sepenuhnya. Di situ ada dua petugas, namanya Windy, Mega, dan satu lagi adalah H Mumu. Bagi mereka yang kesulitan transport pulangnya, kami bantu," tambah Dedi.
Tidak hanya warga dari Jabar, warga dari luar provinsi yang datang ke posko pengaduan mendapatkan bantuan.
"Kami juga selalu berusaha untuk memberikan bantuan agar dia sampai ke provinsinya dengan baik," jelasnya.
Namun, Dedi menegaskan bahwa ada batasan dalam pelayanan. Ia menolak pengaduan terkait utang piutang. Sebab menurutnya, melayani masalah tersebut justru akan berdampak kontraproduktif.
"Saya tegaskan di sini, untuk layanan pengobatan kami pasti membantunya, untuk layanan hukum kami siapkan pengacara gratis, tidak usah dibayar. Untuk laporan di APH yang belum ditindaklanjuti, selama ini selalu dengan cepat direspons dan ditindaklanjuti," tegas Dedi.
Ia menyampaikan, untuk pengaduan terkait masalah keuangan akibat utang-piutang, pihaknya tidak dapat memenuhi permintaan tersebut.
"Hal ini akan menimbulkan efek yang sangat buruk, bahkan dapat memancing orang untuk datang meminta dilunasi," tambahnya.
Selain itu, Dedi juga membatasi pengaduan mengenai persoalan keluarga, karena ia merasa waktunya sering habis hanya untuk mendengarkan curhat warga.
"Kami tidak bisa menerima satu-satu karena waktu saya akan habis untuk menerima curhatan setiap orang. Jadi saya di rumah kadang-kadang pulangnya jam 21.00–02.00," ungkapnya.
Untuk itu, Dedi mendelegasikan tiga staf untuk menampung keluhan warga.
Meskipun demikian, ia menyadari bahwa tidak semua orang merasa puas dengan pelayanan tersebut.
"Dari seluruh rangkaian itu ada yang merasa puas, ada yang kadang tetap ngotot ngeyel untuk tetap minta dilayani, terutama yang urusan utang piutang," ujarnya.
Meskipun ada batasan, Dedi menegaskan bahwa pintu Lembur Pakuan tidak akan ditutup.
Warga tetap diperbolehkan datang, terutama bagi mereka yang benar-benar membutuhkan bantuan kemanusiaan.
"Untuk itu saya menyampaikan permohonan maaf atas ketidaknyamanan layanan kami. Kami ingin berusaha memberikan yang terbaik, tetapi berdasarkan kemampuan yang kami miliki," kata Dedi.
Sementara itu, data dari posko pengaduan menunjukkan bahwa persoalan utang piutang mendominasi setiap hari.
Dari 50 hingga 60 orang yang datang, mayoritas berharap Dedi Mulyadi dapat turun tangan menyelesaikan masalah utang mereka.
Windi, salah satu staf posko pengaduan, menceritakan bahwa pernah ada warga yang datang dengan masalah utang hingga miliaran rupiah.
Ia menegaskan bahwa aduan semacam itu tidak pernah ia teruskan kepada Gubernur Jabar.
"Pada bulan Mei 2025 ada seorang lelaki asal Bandung yang datang ke pos pengaduan curhat karena yang bersangkutan terlilit utang Rp4 miliar. Paling banyak itu aduan terkait masalah personal yaitu utang piutang," pungkasnya.
https://bandung.kompas.com/read/2025/09/10/175329278/lembur-pakuan-jadi-tempat-pengaduan-warga-dedi-mulyadi-menolak-bila-soal