Dari balik posko pengungsian, ia hanya bisa memandang ke arah bukit yang kini menjadi sumber ketakutan terbesarnya.
Peristiwa itu bermula pada Jumat sore, seusai hujan deras mengguyur kawasan Arjasari.
Amas sedang berada di rumahnya yang berada tepat di sisi bawah tebing saat air mulai mengalir deras dari arah gunung.
Tak ada suara gemuruh, tak ada peringatan apa pun.
“Tiba-tiba air sudah seperti gelombang. Pas lihat ke luar, sudah seperti sungai besar,” katanya pelan, dijumpai di Posko Pengungsian, Selasa (9/12/2025).
Ia tak sempat menyelamatkan diri. Longsoran tanah datang begitu cepat, menghantam bagian rumah dan membuat bangunan kayu itu roboh seketika.
Amas tertimbun material bangunanbalok, papan, dan tanah dalam posisi terlungkup.
“Saya kira lima menit lagi mati. Kalau enggak ada yang nolong, mungkin sudah enggak ada,” tutur Amas, suaranya bergetar.
Di dalam rumah, ada empat orang: Amas, istrinya, anaknya, dan seorang bayi berusia dua bulan. Semuanya turut tertimbun.
Dalam kondisi nyaris tak bisa bergerak, Amas hanya mampu berteriak meminta pertolongan.
Beruntung, ada celah kecil di antara reruntuhan yang memberinya ruang untuk bernapas selama sekitar sepuluh menit sebelum warga datang menolong.
“Badan sudah enggak bisa gerak sama sekali. Ketimpa semua. Tapi masih ada sela-sela kayu, jadi saya bisa napas,” kata dia.
Sehari setelah kejadian, Amas dan keluarganya mengungsi ke rumah warga yang dijadikan posko darurat.
Sebagian anggota keluarga memilih menumpang di rumah kerabat. Sejak itu, ia tak pernah lagi berani naik ke lokasi rumahnya yang kini rata dengan tanah.
"Saya masih trauma. Kalau lihat hujan, takut. Saya cuma lihat dari bawah saja. Enggak berani ke atas,” katanya.
Sebagai petani, longsor tak hanya merenggut rumahnya, tetapi juga sumber penghidupannya.
Beberapa ekor domba, ayam, burung peliharaan, sepeda motor, hingga mesin jahit miliknya ikut tertimbun. Akses ke ladang terputus, membuatnya tak lagi bisa bekerja.
“Sekarang mau ke kebun juga jalannya keputus. Jadi enggak bisa kerja,” ujar dia.
Hingga kini, Amas mengaku belum menerima bantuan secara pribadi. Kebutuhan makan dan tempat tidur ia peroleh dari posko pengungsian.
Namun, kerugian besar yang ia alami masih menyisakan kekosongan yang sulit diisi hanya dengan bantuan logistik.
Rumahnya kini ambruk total. Tak tersisa tempat untuk pulang. Harapan Amas sederhana. Ia hanya ingin kembali memiliki rumah.
“Saya cuma pengin ada rumah lagi buat pulang. Soalnya sekarang sudah enggak punya apa-apa,” katanya lirih.
Di antara rasa takut dan trauma yang belum pulih, Amas masih menyimpan satu hal yang ia syukuri setiap hari, keluarganya selamat. Dari reruntuhan kayu dan tanah, ia dan keluarganya berhasil keluar hidup-hidup. Sebuah keajaiban kecil di tengah tragedi besar Arjasari.
https://bandung.kompas.com/read/2025/12/09/190252278/bertahan-di-bawah-reruntuhan-kisah-amas-selamat-dari-longsor-arjasari