Salin Artikel

Di Balik Terompet Tahun Baru, Ada Kisah Ibu yang Melawan Lelah demi Pendidikan Anak

BANDUNG, KOMPAS.com—Suara kipas kecil dan denting plastik beradu pelan terdengar dari sebuah rumah di Kecamatan Banjaran, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.

Di ruang sempit yang lantainya mulai retak, Marni (40) duduk bersila. Tangannya lincah merangkai helai-helai kertas mengilap menjadi trompet warna-warni yang akan ramai menjelang pergantian tahun.

Di sekelilingnya, puluhan bahkan ratusan trompet telah tersusun rapi seperti piramida kecil.

Ruangan itu hampir tak menyisakan celah.

Motor keluarga terparkir di sudut, tumpukan plastik besar memenuhi sisi lain, dan dari televisi tabung tua, suara sinetron sore terdengar samar.

“Kalau nggak dikerjain sekarang, besok numpuk,” ujarnya sembari terus menempel pita ke badan trompet, saat dijumpai di rumahnya, Kamis (11/12/2025).

Jalan Panjang Membesarkan Anak-anaknya

Baginya, pekerjaan ini bukan sekadar mencari rezeki tambahan, namun jalan panjang yang ia pilih untuk membesarkan anak-anaknya.

Sudah lebih dari 10 tahun ia merangkai sendiri trompet-trompet ini.

Dulu, ia mengerjakan hanya beberapa lusin untuk dijual di pasar malam. Kini, pesanan datang dari beberapa pedagang yang siap mengambil ratusan buah sekaligus.

Meski begitu, ruang kerja sekaligus ruang tamunya tak pernah berubah.

Ia masih duduk di lantai berlapis plastik bening agar sisa-sisa kertas tak berserakan.

Semua proses, dari memotong, merangkai, hingga mengikat, dilakukan secara manual.

Dari tempatnya duduk membuat terompet, bisa terlihat foto keluarga dan kalender lama yang menggantung di dinding rumahnya. Gambarnya pudar, namun ia enggan menurunkannya.

“Biar jadi penyemangat,” katanya.

Di setiap lembar foto itu, ada wajah anak-anaknya yang menjadi alasan mengapa ia terus bertahan.

Ia mengaku tak pernah benar-benar libur.

Jika musim ramai tiba, ia bisa mengerjakan trompet sejak pagi hingga lewat tengah malam.

“Capek mah pasti. Tapi kalau keinget anak-anak, ya semua hilang,” ujarnya sambil tersenyum kecil.

Saat foto-foto itu diambil, ia baru saja selesai menjemput bahan dari pemasok.

Isi plastik besar yang tergeletak di sampingnya adalah corong trompet yang harus ia rakit menjadi produk siap jual.

Satu per satu, ratusan corong plastik itu akan berubah menjadi barang yang menghidupi keluarganya.

Anak-anaknya, kata dia, kini mulai tumbuh besar. Dua di antaranya masih sekolah.

Yang paling kecil masih kerap menemani ibunya meski hanya duduk di samping sambil menonton televisi.

“Saya kerja gini supaya mereka bisa sekolah setinggi mungkin. Jangan sampai kayak saya,” ia melanjutkan.

Ia tak menampik bahwa harga trompet sering kali tak sebanding dengan tenaga yang ia keluarkan.

Apalagi jika bahan baku naik jelang akhir tahun. Jika itu terjadi,  ia tidak pernah menurunkan kualitas.

“Orang beli mau yang bagus. Kalau buruk, nanti kapok,” ujarnya.

Musim pergantian tahun menjadi masa paling sibuk. Rumah kecilnya berubah menjadi semacam pabrik rumahan.

Semua sudut terisi tumpukan terompet berwarna merah, biru, emas, hingga perak. Hanya celah kecil di tengah ruangan yang ia sisakan untuk duduk.

Terkadang, ia mengerjakan pesanan sambil berbincang dengan tetangga yang datang membantu. Namun sebagian besar waktu ia habiskan seorang diri.

“Kalau sendiri mah lebih teliti,” katanya sambil merapikan rumbai kertas perak yang baru ditempel.

Sehari Hasilkan Puluhan Terompet

Dalam sehari, ia bisa merampungkan puluhan trompet. Jika sedang lelah, jumlahnya menurun. Tapi ia tak pernah berhenti total.

“Kerja sedikit-sedikit yang penting jalan,” tuturnya.

Sambil bekerja, ia sesekali melirik televisi tua di depan. Bukan karena sedang menonton, tetapi untuk menemani kesunyian sore.

“Kalau sepi mah ngantuk,” katanya sembari tertawa kecil.

Di musim-musim sulit, ketika penjualan sepi atau pesanan berkurang, ia tetap mencoba bertahan dengan menjual trompet ke warung-warung kecil atau menitipkannya ke pedagang pinggir jalan.

“Saya nggak mau anak-anak tahu mamahnya lagi susah,” ujarnya pelan.

Motor yang terparkir di sampingnya menjadi saksi betapa sering ia mengangkut bahan baku ataupun mengantar pesanan keliling kampung.

Motor itulah yang menghubungkan rumah kecilnya dengan rezeki yang ia cari.

Tak jarang pula ia harus bekerja di tengah hujan deras yang menetes dari celah atap rumahnya. Ia hanya memindahkan trompet ke sudut yang kering, lalu melanjutkan pekerjaan.

“Kalau nunggu perbaikan rumah mah, nggak tahu kapan bisa,” katanya.

Walau hidup serba pas-pasan, ia menaruh harapan besar di tangan anak-anaknya. Ia ingin suatu hari mereka bisa memiliki pekerjaan yang lebih baik, tak harus bergantung pada pekerjaan musiman seperti dirinya.

“Biar mereka bisa pilih jalan hidup sendiri,” katanya.

Pada akhirnya, trompet-trompet yang ia buat bukan hanya sekadar barang dagangan.

Di setiap helainya, tersimpan kisah perjuangan seorang ibu membesarkan keluarga, kisah yang jarang terlihat, namun nyata.

Di ruang sempit itu, dengan tumpukan trompet berkilauan yang menunggu dibawa ke pasar, Marni kembali merapikan rumbai emas yang baru selesai ia pasang.

Tahun terus berganti, tetapi semangatnya tetap sama: bekerja keras demi masa depan anak-anaknya.

https://bandung.kompas.com/read/2025/12/11/102700878/di-balik-terompet-tahun-baru-ada-kisah-ibu-yang-melawan-lelah-demi

Terkini Lainnya

Dukung Konservasi, Bulog Kembangkan Jambu Air Camplong di Sampang
Dukung Konservasi, Bulog Kembangkan Jambu Air Camplong di Sampang
Regional
Jelang Nataru, KAI Edukasi Keselamatan di Perlintasan Sebidang Surabaya Gubeng
Jelang Nataru, KAI Edukasi Keselamatan di Perlintasan Sebidang Surabaya Gubeng
Regional
Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Regional
Tersangka dari Balai Kota
Tersangka dari Balai Kota
Regional
Saat Ungkapan 'Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua' Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Saat Ungkapan "Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua" Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Regional
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Regional
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Regional
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Regional
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan 'CSR', tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan "CSR", tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Regional
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Regional
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Regional
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Regional
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com