Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sunda Wiwitan: Kami Menolak, Kami Akan Halangi Eksekusi

Kompas.com, 20 Mei 2022, 12:12 WIB
Rachmawati

Editor

KOMPAS.com - Sejumlah masyarakat Adat Karuhun Urang (Akur) Sunda Wiwitan melakukan aksi penolakan konstatering atau pencocokan serta sita eksekusi terhadap Blok Mayasih, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, pada Rabu (18/5/2022).

Pelaksanaan konstatering oleh Pengadilan Negeri Kuningan yang dijadwalkan pukul 09.00 WIB pun sempat tertunda.

Sebelum pukul 09.00 WIB, sejumlah warga Akur Sunda Wiwitan sudah memadati jalan menuju blok Mayasih. Mereka berasal dari berbagai kalangan.

Baca juga: Pertahankan Ruang Hidup, AKUR Sunda Wiwitan Cigugur Kuningan Tolak Eksekusi Tanah Adat

Mereka berbaris menutup jalan menuju bangunan yang akan dilakukan pencocokan serta sita eksekusi. Bangunan tersebut berbentuk rumah dengan luasan tanah sekitar 16 bata atau 224 meter persegi.

Selama RUU itu belum disahkan, persoalan seperti ini dikhawatirkan akan terulang kembali pada masyarakat adat lainnya di Indonesia.

Rencana eksekusi lahan di Desa Cigugur, Kabupaten Kuningan, yang diklaim sebagai tanah adat masyarakat Karuhun Sunda Wiwitan itu terjadi setelah Mahkamah Agung memenangkan pihak penggugat.

Baca juga: Mengenal Selam Sunda Wiwitan, Kepercayaan dan Tradisi Leluhur Suku Baduy

Enam tahun lalu, Pengadilan Negeri (PN) Kuningan sudah memerintahkan eksekusi lahan, namun gagal, setelah ditolak masyarakat penghayat Sunda Wiwitan.

Tetapi April 2022, PN Kuningan kembali memerintahkan otoritas terkait untuk melakukan eksekusi di lahan tersebut, setelah putusan Peninjauan Kembali (PK) memenangkan pihak penggugat.

MA memenangkan alasan pihak penggugat yang menganggap persoalan ini semata sengketa waris keluarga.

Klaim ini ditolak masyarakat Karuhun Sunda Wiwitan yang berkukuh lahan itu adalah tanah adat dan menganggap putusan majelis hakim itu sebagai kesalahan.

Mereka mengaku memiliki bukti-bukti di balik status tanah adat atas lahan seluas sekitar 224 meter persegi. Untuk itulah, mereka menyatakan akan melakukan "perlawanan" atas rencana eksekusi.

Mengapa masyarakat Sunda Wiwitan menolak eksekusi?

Seorang pengendara sepeda motor melintas di depan gedung Paseban Tri Panca Tunggal, Desa Cigugur, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, Senin (15/2/2021)KOMPAS.com/MUHAMAD SYAHRI ROMDHON Seorang pengendara sepeda motor melintas di depan gedung Paseban Tri Panca Tunggal, Desa Cigugur, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, Senin (15/2/2021)
Rencana eksekusi berdasarkan perintah PN Kuningan atas lahan di Desa Cigugur itu diungkap pertama kali oleh masyarakat Karuhun Sunda Wiwitan di media sosial.

Disebutkan, pada 22 April 2022, PN Kuningan mengeluarkan surat perintah pelaksanaan pencocokan (constatering) dan sita eksekusi, yang akan dilakukan pada Rabu (18/5/2022).

BBC News Indonesia, Selasa (17/5/2022), telah menghubungi PN Kuningan untuk mengkonfirmasi waktu dan alasan putusan eksekusi.

Melalui sambungan telepon, Kepala Humas PN Kuningan, Hans Prayugotama, mengaku belum menerima informasi dari panitera atau juru sita.

Atas rencana eksekusi ini, masyarakat Karuhun Sunda Wiwitan menyatakan menolak secara tegas dan tidak memberikan ruang dalam eksekusi.

Baca juga: Perjuangan AKUR Sunda Wiwitan Cigugur demi Status Masyarakat Hukum Adat

"Menolak dengan tegas karena PN Kuningan melakukan framing hanya dengan membahas lewat cara pandang hukum waris perorangan atau pribadi," kata Okky Satrio Djati, petugas adat (girang pangaping) masyarakat Adat Karuhun Sunda Wiwitan, kepada BBC News Indonesia, Selasa (17/5/2022).

Ia mengatakan lahan itu adalah tanah adat Mayasih milik komunal yang dijaga dan dikelola secara bersama dan bukan milik pribadi.

"Nah, cara pandang ini yang kami mengatakan framing mereka dalam melihat masalah ini, salah," tambahnya.

Okky menganggap majelis hakim keliru memahami objectum litis-nya.

Baca juga: Sejarah Tumpeng dalam 2 Versi, dari Kepercayaan Kapitayan dan Sunda Wiwitan

"Karena memahami objectum litis-nya sebagai sengketa waris, padahal jelas bahwa objectum litis-nya bukanlah sengketa waris, melainkan sengketa atas Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang terjadi pada masyarakat hukum adat," jelasnya.

Okky menegaskan pihaknya memiliki bukti-bukti bahwa lahan itu merupakan tanah adat milik komunitas Karuhun Sunda Wiwitan.

"Kami punya persil dan itu milik pupuhu kami yang pertama. Lantas ada surat penetapan dari pupuhu kedua," kata dia.

"Generasi tahun 1964 dan 1976, [lahan] itu diberikan kepada sekitar 12 tokoh masyarakat. Dari tokoh masyarakat itu, mereka membentuk yayasan pendidikan," ungkapnya.

Yayasan inilah yang berhak mengelola bersama masyarakat.

"Jadi tidak boleh diperjualbelikan, tapi digunakan untuk kepentingan bersama," ujar Okky.

Baca juga: Jeritan Masyarakat Sunda Wiwitan: Ini Kesewenang-wenangan!

Apa alasan pihak penggugat?

Penghayat Sunda Wiwitan di Kampung Cigugur, Kuningan Jawa Barat.dok BBC Indonesia Penghayat Sunda Wiwitan di Kampung Cigugur, Kuningan Jawa Barat.
Sampai Selasa (17/5/2022) malam, BBC News Indonesia belum berhasil menghubungi pihak penggugat, Jaka Rumantaka.

Namun, seperti dikutip Tempo.co pada 10 Oktober 2017, dalam klafirikasi di Dewan Pers, Jaka Rumantaka mengklaim lahan itu milik ibunya.

Dia mengaku, pada 1980, tanah itu kemudian diberikan oleh adik ibunya kepada dua orang.

Kelak Jaka mengaku melayangkan gugatan kepada dua orang tersebut. Gugatan inilah yang dimenangkan PN Kuningan.

Baca juga: Komunitas Sunda Wiwitan Minta Pelaku Penyegelan Bakal Makan Leluhur Ditindak

Klaim Jaka inilah yang dipertanyakan komunitas Karuhun Sunda Wiwitan. Mereka menganggap putusan tersebut tidak mempertimbangkan amanat leluhur dan aspek sejarah, sosial, dan budaya.

BBC Indonesia telah menghubungi PN Kuningan untuk mengklarifikasi alasan putusan, namun kepala humasnya, Hans Prayugotama mengaku belum menerima informasi tentang persoalan ini.

Kenapa persoalan tanah adat sering muncul?

Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi, mengatakan, kasus yang dialami komunitas Sunda Wiwitan di Kuningan, makin menguatkan alasan untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat.

"Belum ada UU yang secara khusus dibuat dan digunakan sebagai panduan untuk negara mengadministrasi masyarakat adat," kata Rukka kepada BBC News Indonesia, Selasa (17/05).

UU yang ada, lanjutnya, barulah sepotong-potong alias sektoral.

Baca juga: Bakal Makam Leluhur Disegel Pemkab Kuningan, Komunitas Sunda Wiwitan Lapor ke Komnas HAM

Hal senada juga diutarakan Ketua Pusat Pengembangan Hukum Agraria, Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya, Imam Kuswahyono.

Dia mengatakan, kasus tanah adat di Kuningan bisa terjadi, karena ada ketidakjelasan norma yang digunakan dalam mengatur obyek yang disengketakan.

"Inilah yang menjadi PR bagi pemerintah atau negara, bagaimana segera melakukan pembenahan dan pembaruan terhadap pengakuan secara Konstitusional dan operasional dari masyarakat adat," kata Imam kepada BBC News Indonesia, Selasa (17/5/2022).

Selama itu belum disahkan, menurut Rukka dan Imam, persoalan seperti ini akan terulang kembali di masyarakat adat lainnya di Indonesia.

Baca juga: Respons Sunda Wiwitan soal Belum Adanya IMB untuk Makam Sesepuh

Rukka menilai, apa yang menimpa masyarakat Sunda Wiwitan di Kuningan, memperlihatkan, belum ada mekanisme yang secara utuh memberikan peluang kepada masyarakat adat untuk pendaftaran tanah-tanah kolektif.

"Padahal, orang makin banyak perlu tanah, dan terbuka untuk pendaftaran, bahkan bikin sertifikat, di mana tanah-tanah dipotong menjadi tanah individu atau pribadi, dan kemudian inilah yang terjadi," jelasnya.

Dari kasus tanah adat Sunda Wiwitan, Rukka mengatakan, sistem pengaturan, pengakuan dan perlindungan pertanahan dan aset agraria di Indonesia tidak memberikan peluang kepada masyarakat adat untuk bisa memastikan perlindungan terhadap tanah-tanah kolektif, sehingga sertifikat-sertifikat individu bisa muncul.

Baca juga: Bakal Makam Sunda Wiwitan Disegel, Ridwan Kamil Minta Tak Ada Persekusi Sepihak

"Dan kemudian klaim-klaim individu, meskipun atas tanah yang diwariskan bahwa itu adalah tanah kolektif, itu kemudian bisa terjadi," jelas Rukka.

Hal ini makin dipersulit oleh sistem hukum di Indonesia yang disebutnya sangat positivistik, yaitu hanya bisa dibuktikan dengan sertifikat atau dokumen lainnya.

"Dan dokumen-dokumen sebelum Indonesia ada, itu sama-sekali tidak dipertimbangkan. Jadi sejarah asal-usul tanah itu tidak menjadi pertimbangan pengadilan," paparnya.

"Dan ini menjadi persoalan sangat pelik dan ini bukan kasus pertama kali, dan mereka hadapi setiap hari."

Bagaimanapun, menurut Imam Kuswahyono, pemerintah dan DPR belum menjadikan RUU masyarakat adat sebagai prioritas.

Baca juga: Diskriminasi di Rumah Sendiri, Menyoal Penyegelan Bakal Makam Tokoh Sunda Wiwitan

Namun demikian, diakuinya, ada kelemahan pada pembuktian pada tanah-tanah adat di Indonesia.

"Karena pada umumnya hak-hak mereka yang sudah dimiliki secara turun-temurun, itu tidak memiliki alat bukti yang valid dan kuat. Atau tidak memiliki sertifikat," kata dia.

"Nah titik lemah itu justru semakin dimanfaatkan investor bersama pemerintah untuk menguasai tanah-tanah milik hukum adat," ujarnya.

Baca juga: Dedi Mulyadi: Kenapa Masalah Kuburan Sunda Wiwitan Saja Jadi Ribut

Jelang eksekusi, apa jalan keluar yang ditawarkan?

Sejumlah ibu-ibu warga Adat Sunda Wiwitan Cigugur terlibat aksi saling dorong dengan Polisi Wanita Polres Kuningan, Jawa Barat di Desa Cigugur, Kecamatan Cigugur, Kamis siang (24/8/2017). Pasca dua kali terjadi kericuhan, dan sejumlah korban terluka, Pengadilan Negeri Kuningan menggagalkan pelaksanaan eksekusi bangunan yang menjadi sengketa bertahun-tahun.KOMPAS.com/ Muhamad Syahri Romdhon Sejumlah ibu-ibu warga Adat Sunda Wiwitan Cigugur terlibat aksi saling dorong dengan Polisi Wanita Polres Kuningan, Jawa Barat di Desa Cigugur, Kecamatan Cigugur, Kamis siang (24/8/2017). Pasca dua kali terjadi kericuhan, dan sejumlah korban terluka, Pengadilan Negeri Kuningan menggagalkan pelaksanaan eksekusi bangunan yang menjadi sengketa bertahun-tahun.
Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi, mengatakan, kasus tanah adat Sunda Wiwitan di Kuningan "harus diluruskan".

"Harus dilihat kembali, dibuka kembali masalahnya, karena menurut kami banyak sekali kejanggalannya," kata Rukka.

Menurutnya, susah bagi masyarakat adat untuk membuktikannya, karena sistem hukumnya tidak terbuka untuk bisa memberikan peluang kepada syarat-syarat pembuktian oleh masyarakat adat.

"Saya meminta supaya eksekusinya dipending (ditunda) dulu, dan kemudian dilihat kembali sejarah asal-usulan tanah itu," kata Rukka.

Baca juga: Makam Sesepuh Sunda Wiwitan Disegel, Dianggap Tugu dan Akan Dibongkar Jika Tak Berizin

Sementara, Ketua Pusat Pengembangan Hukum Agraria, Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya, Imam Kuswahyono, mengatakan, pihak tergugat dapat melayangkan upaya hukum peninjauan kembali (PK) asal mereka memilih bukti baru (novum).

"Ini untuk menunda eksekusi," kata Imam.

Upaya lainnya, lanjutnya, adalah menggalang dukungan dari kalangan LSM dan akademisi.

"Misalnya, membuat surat kepada presiden dan lembaga negara untuk mendapat prioritas perhatian untuk melihat kasus ini secara jernih," katanya.

"Dan tentu saja, pemerintah dan DPR untuk segera menggolkan RUU masyarakat adat," tandas Imam Kuswahyono.

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang



Terkini Lainnya
Pakar ITB Ingatkan Pemerintah Lakukan Pemodelan Banjir yang Akurat Sebelum Relokasi Warga
Pakar ITB Ingatkan Pemerintah Lakukan Pemodelan Banjir yang Akurat Sebelum Relokasi Warga
Bandung
Ratusan Siswa di Bogor Sumbang Uang, Mukena, hingga Lilin bagi Korban Bencana Aceh dan Sumatera
Ratusan Siswa di Bogor Sumbang Uang, Mukena, hingga Lilin bagi Korban Bencana Aceh dan Sumatera
Bandung
Kepsek SD Tasikmalaya Diduga Cabuli 5 Remaja Putri Dalam Kamar Hotel di Pangandaran
Kepsek SD Tasikmalaya Diduga Cabuli 5 Remaja Putri Dalam Kamar Hotel di Pangandaran
Bandung
Polisi Tangkap Oknum Kades di Jatinangor karena Sabu, Jalani Rehab di Lido 6 Bulan
Polisi Tangkap Oknum Kades di Jatinangor karena Sabu, Jalani Rehab di Lido 6 Bulan
Bandung
Menko AHY Tinjau Langsung Pembangunan Flyover Nurtanio Bandung
Menko AHY Tinjau Langsung Pembangunan Flyover Nurtanio Bandung
Bandung
Dedi Mulyadi Pulangkan 47 Warga, 25 Lainnya Masih Terjebak di Takengon Aceh
Dedi Mulyadi Pulangkan 47 Warga, 25 Lainnya Masih Terjebak di Takengon Aceh
Bandung
Puluhan Pengajuan Izin Perumahan di Cimahi Disetop, Pemkot Tunggu Kajian Lingkungan
Puluhan Pengajuan Izin Perumahan di Cimahi Disetop, Pemkot Tunggu Kajian Lingkungan
Bandung
Ujaran Kebencian Streamer Viral, Polda Jabar Tetap Proses meski Pelaku Sudah Minta Maaf
Ujaran Kebencian Streamer Viral, Polda Jabar Tetap Proses meski Pelaku Sudah Minta Maaf
Bandung
Libur Natal dan Tahun Baru, Jalur Puncak Bogor Pakai Skema Buka-Tutup
Libur Natal dan Tahun Baru, Jalur Puncak Bogor Pakai Skema Buka-Tutup
Bandung
REI Jabar soal SE Dedi Mulyadi Moratorium Izin Perumahan: Mohon Dikaji Ulang...
REI Jabar soal SE Dedi Mulyadi Moratorium Izin Perumahan: Mohon Dikaji Ulang...
Bandung
Relokasi Korban Longsor Arjasari, Bupati Bandung Biayai Sewa Kontrakan 3 Bulan
Relokasi Korban Longsor Arjasari, Bupati Bandung Biayai Sewa Kontrakan 3 Bulan
Bandung
Wagub Jabar Desak Polisi Tangkap Streamer Pelaku Dugaan Ujaran Kebencian
Wagub Jabar Desak Polisi Tangkap Streamer Pelaku Dugaan Ujaran Kebencian
Bandung
Dugaan Ujaran Kebencian oleh Streamer, Polda Jabar: Kami Sudah Profiling Akun Pelaku
Dugaan Ujaran Kebencian oleh Streamer, Polda Jabar: Kami Sudah Profiling Akun Pelaku
Bandung
Pakan Satwa Bandung Zoo Menipis, Karyawan Galang Donasi di Pinggir Jalan
Pakan Satwa Bandung Zoo Menipis, Karyawan Galang Donasi di Pinggir Jalan
Bandung
Terminal Cicaheum Akan Jadi Depo BRT, Pemkot Bandung Desak Kemenhub Sosialisasi
Terminal Cicaheum Akan Jadi Depo BRT, Pemkot Bandung Desak Kemenhub Sosialisasi
Bandung
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau