Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cingcowong, Tradisi Meminta Hujan dari Kabupaten Kuningan yang Bernuansa Mistis

Kompas.com, 12 Januari 2023, 23:26 WIB
Puspasari Setyaningrum

Editor

KOMPAS.com - Tradisi cingcowong merupakan satu kearifan lokal yang berasal dari Luragung Landeuh, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.

Pelaksanaan cingcowong terkait dengan ketergantungan manusia terhadap alam yaitu air sebagai sumber penghidupan.

Baca juga: Manten Kucing, Tradisi Meminta Hujan yang Unik dari Tulungagung

Tradisi cingcowong adalah tradisi meminta hujan yang dilakukan terutama ketika ketika terjadi kemarau berkepanjangan.

Air hujan tidak hanya akan memberikan penghidupan bagi manusia, namun juga bagi sawah, kebun, dan makhluk hidup di dalamnya.

Baca juga: Tari Tiban, Tradisi Masyarakat Tulungagung Meminta Hujan

Arti Tradisi Cingcowong

Dilansir dari laman Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat, cingcowong berasal dari istilah dalam bahasa Sunda yaitu cing dan cowong.

Kata cing bermakna sama dari kata cik yang berarti coba, dan kata cowong yang berarti biasa berbicara keras.

Maka dari segi bahasa, cingcowong memiliki arti mencoba berbicara keras.

Baca juga: Kenapa Profesi Pawang Hujan Masih Ada di Tengah Kecanggihan Teknologi di Indonesia?

Ada pula pengertian dari sumber lain yang menyebut istilah cingcowong berasal dari kata cing yang dalam bahasa Sunda berarti teguh atau dalam bahasa Indonesia berarti terka.

Sementara kata cowong yang merupakan kependekan dari kata wong yang dalam bahasa Jawa berarti orang.

Sehingga jika keduanya disatukan maka cingcowong berarti terka siapa orang ini.

Perlengkapan Tradisi Cingcowong

Tradisi cingcowong sendiri tergolong seni ritual meminta hujan yang menggunakan jejelmaan atau orang-orangan berupa boneka yang kepalanya terbuat dari batok kelapa dan badannya terbuat dari bubu ikan.

Boneka cingcowong berfungsi sebagai alat untuk memanggil roh-roh gaib yang kerap disebut hampir sama dengan jelangkung.

Ritual ini menggunakan alat pengiring berupa buyung sebagai kendang yang terbuat dari tanah liat dan ceneng atau bokor sebagai ketuk.

Selain itu digunakan perlengkapan pendukung ritual berupa taraje (tangga bambu), samak (tikar), sisir dan cermin, serta air dan bunga kamboja yang disimpan dalam wadah.

Disiapkan pula parukuyan (pedupaan) dan kemenyannya, serta aneka sesajen yang terdiri dari telur asin, kopi, rokok atau cerutu, congcot (tumpeng kecil), tektek (seperangkat bahan untuk menyirih) makanan ringan, kue-kue basah, dan buah-buahan manis.

Setelah semua persiapan lengkap, maka tradisi cingcowong pun bisa untuk dilaksanakan.

Pelaksanaan Tradisi Cingcowong

Tradisi cingcowong dipimpin oleh seorang yang dinamakan punduh sebagai orang yang dianggap memiliki kemampuan khusus yang berhubungan dengan makhluk dan kekuatan supernatural.

Seorang punduh akan dibantu oleh beberapa orang yang bertugas untuk memegang boneka cingcowong, serta memainkan dua alat musik utama yaitu buyung dan bokor.

Ada pula sinden yang bertugas melantunkan lagu-lagu tertentu untuk mengiringi trian boneka cingcowong.

Pemain buyung dan bokor serta sinden akan memainkan lagu sebagai tanda dimulainya ritual.

Punduh dan pembantunya akan memegang boneka cingcowong masuk ke dalam tempat ritual.

Boneka cingcowong yang dipegang akan digerakan seakan berjalan di antara anak tangga yang diletakkan di atas lantai, dimulai dari ujung awal sampai ujung akhir sebanyak tiga kali bolak-balik.

Kemudian punduh akan duduk di tengah tangga dengan memangku boneka cingcowong dan menghadapkan wajah boneka ke arah cermin.

Punduh kemudian akan melakukan gerakan seperti menyisir rambut boneka menggunakan sisir.

Para pembantu yang duduk di samping punduh ikut memegangi sabuk yang dikenakan boneka cingcowong karena boneka akan mulai bergerak mengikuti alunan lagu.

Semakin lama, boneka cingcowong akan bergerak seperti tidak terkendali setelah kalimat terakhir dari lagu cingcowong dinyanyikan oleh sinden.

Gerakan tak terkendali ini dipercaya menandakan bahwa boneka cingcowong tersebut telah mulai dirasuki roh gaib.

Bergeraknya boneka cingcowong ini memang di luar nalar, sehingga kerap dihubungkan dengan hal-hal yang bernuansa mistis.

Adakalanya boneka cingcowong akan bergerak mendatangi kerumunan penonton dan membuat mereka berhamburan karena ketakutan.

Untuk menetralkan suasana, punduh akan mengucapkan kata-kata “cingcowong cingcowong, hulu canting awak bubu” yang berarti cingcowong cingcowong kepala canting badan bubu, diiringi dengan cipratkan air bunga kemboja kepada para penonton sambil mengucapkan kata-kata “ hujaan… hujaan… hujaan….”.

Saat ini tradisi cingcowong sudah mulai mengalami pergeseran dan modifikasi dari ritual pemanggil hujan menjadi tarian atau snei hiburan rakyat.

Hal ini memiliki alasan untuk menyelamatkan tradisi cingcowong yang hampir punah.

Sumber:
 kebudayaan.kemdikbud.go.id  
 cirebon.tribunnews.com  

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang



Terkini Lainnya
Pakar ITB Ingatkan Pemerintah Lakukan Pemodelan Banjir yang Akurat Sebelum Relokasi Warga
Pakar ITB Ingatkan Pemerintah Lakukan Pemodelan Banjir yang Akurat Sebelum Relokasi Warga
Bandung
Ratusan Siswa di Bogor Sumbang Uang, Mukena, hingga Lilin bagi Korban Bencana Aceh dan Sumatera
Ratusan Siswa di Bogor Sumbang Uang, Mukena, hingga Lilin bagi Korban Bencana Aceh dan Sumatera
Bandung
Kepsek SD Tasikmalaya Diduga Cabuli 5 Remaja Putri Dalam Kamar Hotel di Pangandaran
Kepsek SD Tasikmalaya Diduga Cabuli 5 Remaja Putri Dalam Kamar Hotel di Pangandaran
Bandung
Polisi Tangkap Oknum Kades di Jatinangor karena Sabu, Jalani Rehab di Lido 6 Bulan
Polisi Tangkap Oknum Kades di Jatinangor karena Sabu, Jalani Rehab di Lido 6 Bulan
Bandung
Menko AHY Tinjau Langsung Pembangunan Flyover Nurtanio Bandung
Menko AHY Tinjau Langsung Pembangunan Flyover Nurtanio Bandung
Bandung
Dedi Mulyadi Pulangkan 47 Warga, 25 Lainnya Masih Terjebak di Takengon Aceh
Dedi Mulyadi Pulangkan 47 Warga, 25 Lainnya Masih Terjebak di Takengon Aceh
Bandung
Puluhan Pengajuan Izin Perumahan di Cimahi Disetop, Pemkot Tunggu Kajian Lingkungan
Puluhan Pengajuan Izin Perumahan di Cimahi Disetop, Pemkot Tunggu Kajian Lingkungan
Bandung
Ujaran Kebencian Streamer Viral, Polda Jabar Tetap Proses meski Pelaku Sudah Minta Maaf
Ujaran Kebencian Streamer Viral, Polda Jabar Tetap Proses meski Pelaku Sudah Minta Maaf
Bandung
Libur Natal dan Tahun Baru, Jalur Puncak Bogor Pakai Skema Buka-Tutup
Libur Natal dan Tahun Baru, Jalur Puncak Bogor Pakai Skema Buka-Tutup
Bandung
REI Jabar soal SE Dedi Mulyadi Moratorium Izin Perumahan: Mohon Dikaji Ulang...
REI Jabar soal SE Dedi Mulyadi Moratorium Izin Perumahan: Mohon Dikaji Ulang...
Bandung
Relokasi Korban Longsor Arjasari, Bupati Bandung Biayai Sewa Kontrakan 3 Bulan
Relokasi Korban Longsor Arjasari, Bupati Bandung Biayai Sewa Kontrakan 3 Bulan
Bandung
Wagub Jabar Desak Polisi Tangkap Streamer Pelaku Dugaan Ujaran Kebencian
Wagub Jabar Desak Polisi Tangkap Streamer Pelaku Dugaan Ujaran Kebencian
Bandung
Dugaan Ujaran Kebencian oleh Streamer, Polda Jabar: Kami Sudah Profiling Akun Pelaku
Dugaan Ujaran Kebencian oleh Streamer, Polda Jabar: Kami Sudah Profiling Akun Pelaku
Bandung
Pakan Satwa Bandung Zoo Menipis, Karyawan Galang Donasi di Pinggir Jalan
Pakan Satwa Bandung Zoo Menipis, Karyawan Galang Donasi di Pinggir Jalan
Bandung
Terminal Cicaheum Akan Jadi Depo BRT, Pemkot Bandung Desak Kemenhub Sosialisasi
Terminal Cicaheum Akan Jadi Depo BRT, Pemkot Bandung Desak Kemenhub Sosialisasi
Bandung
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau