BANDUNG, KOMPAS.com - Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi) menyoroti kurangnya jumlah dokter spesialis dan subspesialis di Indonesia.
Untuk itu ia meminta Menteri Kesehatan Budi Gunadi dan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim mempermudah pendidikan dokter spesialis.
Menanggapi permintaan tersebut, Menkes membongkar penyebab kurang dokter spesialis di Indonesia.
Baca juga: Jokowi Ungkap Rp 165 Triliun Devisa Hilang karena 2 Juta WNI Berobat ke Luar Negeri
Model pendidikan dokter spesialis di Indonesia masih berbasis universitas, sehingga calon dokter spesialis harus membayar kuliah.
"Indonesia satu-satunya negara di dunia, dokter spesialis harus bayar ke Fakultas Kedokteran. Itu sebabnya jumlahnya jadi sedikit. Di Amerika Serikat, Jepang, Jerman, Singapura, hingga Australia, pendidikan dokter spesialis gratis," ungkap dia.
"Di Indonesia, kursi spesialis langka dan mahal," ucap dia dalam peresmian Mayapada Hospital Bandung.
Baca juga: Jokowi Minta Menkes dan Mendikbud Permudah Pendidikan Dokter Spesialis
Kondisi ini ditambah dengan sedikitnya perguruan tinggi di Indonesia yang memiliki Fakultas Kedokteran. Budi mencatat, dari 514 kabupaten/kota hanya ada 20 Fakultas Kedokteran.
Untuk itu, pihaknya menyiapkan berbagai strategi. Salah satunya menyiapkan 2.500 beasiswa untuk pendidikan dokter, dokter spesialis, dokter subspesialis, hingga ke fellowship.
Fellowhip yang dimaksud adalah biaya untuk mengikuti kurikulum khusus agar memiliki kemampuan tindakan khusus yang dibutuhkan masyarakat.
Contohnya dalam bidang kesehatan jantung. Ada beberapa jenis kurikulum seperti memasang ring, operasi jantung terbuka, dan lainnya.
Ketika yang sangat dibutuhkan masyarakat adalah memasang ring, maka dokter tersebut bisa mengikuti fellowship untuk pemasangan ring.
Hal ini sudah banyak dilakukan di luar negeri. Di berbagai negara, sambung Budi, pendidikan dilakukan oleh kolegium di rumah sakit.
Mereka mendapatkan pemakhiran ilmu di rumah sakit, tanpa perlu belajar ke universitas.
Usulan ini masih diperdebatkan. Namun yang perlu diingat, fokus pemerintah saat ini adalah menyelamatkan nyawa manusia.
"Kalau harus nunggu (kuliah) 4-8 tahun, sudah terlalu banyak orang yang meninggal. Untuk itu, langkah ini perlu dukungan," bebernya.
Selain penyiapan SDM, Kemenkes akan menambah fasilitas alat untuk 514 RSUD. Alat kesehatan ini memungkinkan rumah sakit bisa menangani pasien jantung hingga kanker.
"Berdasarkan perhitungan, kita butuh Rp 3.000 triliun untuk berbagai perbaikan. Untuk pengadaan alat dan sarana rumah sakit, 2-3 tahun selesai. Yang lama menyiapkan SDM-nya," pungkasnya.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.