BANDUNG, KOMPAS.com - Harga Minyakita di Pasar Kosambi kini mencapai Rp 18.000, jauh di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp 15.700.
Kenaikan harga ini disebabkan oleh ketidakcocokan harga yang diterima pedagang dari suplier.
Agus, Dewan Ketua Asosiasi Pedagang Pasar Tradisional (Apetra) Jawa Barat dan juga pedagang di Pasar Kosambi, menjelaskan bahwa berdasarkan peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 18 Tahun 2024, HET untuk minyak goreng Minyak Kita seharusnya adalah Rp 15.700.
Namun, di lapangan, program pemerintah ini tidak berjalan dengan baik.
Baca juga: Pedagang di Bengkulu: Minyakita Susah Didapat, Harga Tak Jelas...
"Sekarang itu (Minyakita) mestinya HET di Rp 15.700, namun di pasar itu pedagang rata-rata menjual Rp 17.500 sampai Rp 18.000, karena belinya di supplier kurang lebih di sekitar Rp 16.700 atau Rp 17.000," kata Agus saat ditemui di Pasar Kosambi, Kamis (27/2/2025).
Agus menambahkan bahwa produk Minyak Kita cukup diminati masyarakat karena harganya yang murah.
Namun, kenyataannya, produk minyak yang diterima pedagang dengan harga HET sangat langka.
"Kalau pun pernah mendapatkan harga yang sesuai, itu terjadi 3 bulan sekali," ujarnya.
Ia menyebutkan bahwa ketika mendapatkan pasokan dari Bulog, ia membeli minyak tersebut seharga Rp 14.500 dan menjualnya di Rp 15.700, sesuai aturan yang ada.
Baca juga: Langka, Harga Ecer MinyaKita Tembus Rp 18.000 Jelang Ramadhan
Pedagang juga menyesalkan bahwa harga dari suplier swasta tidak sesuai dengan HET.
Agus mempertanyakan pengawasan terhadap penyaluran program pemerintah ini.
"Minyakita yang sudah diprogram oleh pemerintah di Rp 15.700, sekarang berkembang di pasar sampai di Rp 18.000 - Rp 17.000. Ini bagaimana pengawasannya? Ini jadi satu permasalahan," tuturnya.
Dengan harga jual yang tinggi ini, Agus menegaskan bahwa pedagang tidak dapat disalahkan, karena mereka tidak mendapatkan produk Minyak Kita dengan harga yang sesuai dari suplier.
"Persoalannya dikembalikan kepada pemerintah. Kalau seandainya Minyakita mau dibebaskan, ya bebaskan saja harganya di pasar. Tapi di sisi lain sudah dipatok oleh pemerintah di Rp 15.700 dan tidak boleh di atas itu, tetapi di lapangan tidak seperti itu," jelasnya.
Baca juga: Minyakita Langka di Palangka Raya, Pedagang Pilih Tak Berjualan hingga Naikkan Harga
Agus mengaku telah menyampaikan permasalahan ini di Forum Bulog dan kepada Dinas terkait, namun hingga kini tidak ada tanggapan dari pemerintah setempat.
"Tapi sampai sekarang juga tidak ada tanggapan dari pemerintah, dari Bulog," ujarnya.
Ia menambahkan bahwa produk yang bersifat subsidi sebaiknya dipasarkan di pasar tradisional untuk mendukung perekonomian masyarakat kecil.
"Sirkulasi pedagang pun akan lebih menarik jika ada barang-barang dari program pemerintah," pungkas Agus.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang