BANDUNG BARAT, KOMPAS.com – Aturan baru mengenai angkutan barang yang melebihi ukuran dan muatan, yang dikenal dengan istilah over dimension and over load (ODOL), berdampak signifikan terhadap kenaikan harga sejumlah komoditas sayuran di pasar-pasar Kabupaten Bandung Barat (KBB), Jawa Barat.
Pembatasan berat barang yang diangkut membuat distribusi hasil pertanian terhambat, sehingga mengakibatkan penundaan pasokan ke pasar induk.
"Sekarang harganya pada naik. Udah sejak dua hari lalu, seperti tomat, bawang merah, dan cabai mulai pada naik," ungkap Rivo, seorang pedagang sayuran di Pasar Tagog Padalarang, pada Jumat (20/6/2026).
Baca juga: Sopir Truk Khawatir UU ODOL Jadi Celah Pungli Petugas: Sekali Jalan Bisa Dimintai Rp 500 Ribu
Aturan tersebut menghambat distribusi hasil panen petani ke kota-kota besar, termasuk Pasar Induk Caringin di Kota Bandung.
Sebelumnya, truk-truk pengangkut sayuran mampu membawa komoditas dalam jumlah besar, namun kini kapasitasnya berkurang hingga setengah dari biasanya.
"Aturan ODOL ini berdampak pada hasil panen petani yang tidak terangkut di wilayah hulu, dan berdampak pada kelangkaan barang di wilayah hilir. Sehingga tak heran jika harga barang naik," jelas Rivo.
Hal serupa diungkapkan oleh Triadi, pedagang sayuran lainnya, yang mengatakan bahwa saat ini komoditas yang dijualnya bahkan berasal dari sisa barang yang belum terjual.
"Saya jual sayuran akhirnya dengan harga mahal. Karena memang dari sananya sudah naik. Tomat misalnya, yang biasa Rp 15.000, sekarang bisa Rp 30.000 per kilogram," ujarnya.
Kenaikan harga tidak hanya terjadi pada tomat, tetapi juga pada bawang merah, cabai, dan berbagai sayuran lainnya yang diproduksi di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
"Yang naik hampir semua sayuran. Karena kan pakai truk untuk angkutnya. Sementara aturan angkutannya ada pembatasan. Tentu ini berdampak pada ongkos operasional jasa angkutan truk," papar Tri.
Juleha, seorang pedagang ayam potong, juga mengeluhkan harga yang tidak kondusif sejak diberlakukannya aturan ODOL.
"Harga ayam sekarang Rp34.000 dari harga normalnya Rp30.000. Walaupun ayam berasal dari lokal Jawa Barat, pengangkutannya tetap menggunakan truk, sehingga kena imbas juga," sebutnya.
Kenaikan biaya operasional dan pembatasan komoditas yang diangkut membuat keuntungan yang didapat tidak sebanding.
Ilpan Saputra (28), seorang sopir truk, mendesak pemerintah untuk segera merevisi aturan yang berdampak pada keberlangsungan ekonomi masyarakat.
Baca juga: Kapolres Semarang: Selama Masa Transisi Tidak Ada Penindakan terhadap Truk ODOL
"Kami minta pemerintah segera merevisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ). Ini adalah peraturan yang tidak adil. Bayangkan, kami muat kapas yang ringan, tetapi karena dimensinya tinggi, kami terkena tindakan. Sementara muatan pasir yang dimensinya tidak terlihat, tetapi sangat berat, justru tidak terdeteksi," jelas Ilpan saat ditemui di simpang Padalarang.
Sopir truk juga sering kali harus mengeluarkan uang dari kantong pribadi untuk biaya operasional pengangkutan barang.
"Kami akan terus aksi sampai tuntutan ini dipenuhi. Ini adalah bentuk keseriusan kami dan solidaritas dengan seluruh sopir se-Indonesia," tegas Ilpan.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang