Editor
KOMPAS.com - Sejumlah restoran di Bandung, Jawa Barat, mulai mengambil langkah unik untuk menghindari pembayaran royalti musik usai mencuatnya kasus hukum yang menjerat restoran Mie Gacoan di Bali.
Salah satunya adalah restoran Hutanika yang berlokasi di Jalan Asia Afrika No 91-97.
Alih-alih memutar musik dari platform streaming, restoran ini memilih untuk memutar suara burung peliharaan milik pemilik restoran.
Baca juga: Hindari Bayar Royalti, Kafe di Solo Pilih Undang DJ Ketimbang Band Cover
Langkah tersebut diambil setelah mereka menerima surat dari Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) terkait pemutaran musik komersial di tempat usaha.
“Katanya muter suara burung juga kena. Padahal itu suara burung dari YouTube. Akhirnya, kita rekam sendiri suara burung peliharaan owner, terus diputar di restoran,” ujar Adit, Head of Sales & Marketing Hutanika, saat ditemui, Rabu (6/8/2025).
Adit mengaku pihaknya bingung dengan aturan pembayaran royalti yang dinilai tidak transparan dan minim sosialisasi.
Baca juga: Pasang Lagu di Kafe Bayar Royalti Rp 120.000 per Kursi, Ternyata Pakai Suara Alam Juga Bayar
Ia mencontohkan, meskipun Hutanika menggunakan layanan streaming berbayar seperti Spotify atau YouTube, mereka tetap dikenai kewajiban membayar royalti tambahan.
“Hitungannya beda-beda, ada kafe bayar segini, bar bayar segitu. Kita juga jadi bingung, apalagi enggak setiap hari restoran penuh. Kapasitas kita bisa sampai 300 orang, tapi itu pun fluktuatif,” jelasnya.
Yang lebih membingungkan, lanjut Adit, adalah kabar bahwa semua jenis musik bisa dikenai royalti, bahkan musik bebas hak cipta hingga suara alam seperti kicau burung.
“Kita bukan menolak bayar royalti, tapi sistemnya belum jelas. Siapa yang narik, uangnya lari ke siapa, itu yang harus dijelaskan,” katanya.
Sementara itu, restoran lain seperti Tempayan Indonesian Bistro memilih solusi berbeda.
Mereka tak lagi memutar lagu dari platform berbayar dan kini menggunakan lagu hasil buatan kecerdasan buatan (AI) melalui aplikasi Suno AI.
“Kita tiba-tiba dapat surat peringatan, tanpa ada sosialisasi sebelumnya. Akhirnya manajemen memutuskan untuk bikin lagu sendiri saja pakai AI,” ujar Agung Setiadi, General Manager Marketing & Sales Tempayan.
“Kita bikin lagu sendiri, bahkan ada kata makanan juga tempayan dalam liriknya. Saat ini kami bikin playlist kurang lebih 80 lagu jadi orisinal, tidak perlu lagi bayar royalti ke siapa-siapa,” ujar Agung menambahkan.
Langkah ini menurutnya justru lebih efisien secara finansial. Tempayan kini mengeluarkan Rp 2,8 juta per tahun untuk langganan AI.
Sebelumnya, ia menggunkan platform Spotify berbayar Rp 89.000 per outlet per bulan, sementara Tempayan yang masuk dalam Justus Grup memiliki 16 outlet.
“Jadi biayanya jauh lebih ringan dan kita tetap bisa jaga ambience restoran,” ujarnya.
Agung pun mengatakan Tempayan berencana membuat lomba untuk membuat jingle Tempayan dan membeli karya sang pemenang nantinya supaya tidak harus kebingungan dengan aturan yang ada.
Artikel ini telah tayang di TribunJabar.id dengan judul Khawatir soal Royalti, Restoran di Bandung Pilih Pakai AI hingga Putar Suara Burung Peliharaan Owner
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang