Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Diinterogasi seperti Pelaku, Penyebab Korban Kekerasan Seksual Enggan Lapor Polisi

Kompas.com - 08/03/2024, 19:16 WIB
Putra Prima Perdana,
Reni Susanti

Tim Redaksi

BANDUNG, KOMPAS.com - Korban kekerasan seksual rata-rata enggan melapor ke pihak berwajib lantaran takut menjalani proses hukum yang berbelit-belit, mulai dari pengaduan hingga persidangan.

Fenomena tersebut terungkap dalam talkshow Peduli Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan, Mengenal Undang Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual Nomor 12 Tahun 2022 yang digelar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (Unpad) dan Kompas.id di Bandung, Jumat (7/3/2024).

Dosen Fakultas Hukum Unpad, Nela Sumika mengungkapkan, dari pengalamannya menangani  masalah kekerasan seksual, meyakinkan korban untuk melaporkan kejahatan seksual ke pihak kepolisian, hal yang cukup sulit.

Baca juga: Hati-hati, Minta PAP Pacar Bisa Dipidana

"Dalam isu kekerasan seksual yang paling penting sebenarnya korban, bagaimana kita men-treat (memperlakukan) korban mau melaporkan, masuk proses peradilan yang berat, sampai after-nya mau ngapain. Yang berat itu gimana membuat korban melapor," kata Nela, Jumat siang.

Selain itu, korban kebanyakan tidak yakin bukti yang disampaikan bisa diterima polisi. Sebab, rata-rata kejadian kekerasan seksual yang dialami sudah terlalu lama.

Baca juga: Penuhi Janji Kampanye, Bupati Bandung Bangun 5 RSUD Bedas 

"Saya beberapa kali pegang kasus enggak ada yang mau melapor. Karena ketika melapor, mereka enggak yakin bawa cukup bukti," tuturnya.

Bahkan setelah melapor, korban kekerasan seksual yang seharusnya mendapatkan perlakuan ramah justru kerap diinterogasi seperti pelaku.

"Kita melapor, tapi perspektif penegak hukum sebaliknya, kita ditanya seolah-olah kita melakukan, bukan sebagai korban, " ujarnya.

Pertanyaan yang sering kali membuat traumatis korban kekerasan seksual kembali muncul dalam proses penegakan hukum pun terus ditanyakan berulang ulang.

Njelimetnya proses hukum tersebut menurut Nela membuat korban lebih memilih bungkam.

"Orang sudah takut duluan belum masuk ke pengadilan. Pertanyaan berulang yang ditanya yang sebenarnya korban enggak kepingin ngomong. Akhirnya yang ada malas, makanya di-cut di awal dan mengagap ini musibah," ucapnya.

Idealnya, pihak kepolisian diharapkan mampu bersikap lebih ramah, peka, peduli, serta memiliki empati terhadap kondisi psikologis korban kekerasan seksual.

"Perspektif ramah atau memahami isu kekerasan seksual itu didapat melalui proses pendidikan panjang. Untuk menimbulkan awareness dan simpati itu enggak gampang," ungkap Nela. 

Bukan berarti korban perempuan yang mengatasi polisi perempuan itu selesai masalah, kadang sama saja enggak ada bedanya polisi perempuan sama laki-laki.

Jangan-jangan laki-laki jauh lebih punya awareness dan simpati meski di Undang Undang diamanatkan kalau korbannya perempuan penyidiknya harus satu gender, tapi ternyata belum tentu jadi solusi," tandasnya.

Penanganan hukum terhadap kasus kekerasan seksual di kepolisian pun terkadang berjalan lambat.

Menurut Sely Martini dari Jaringan Relawan Independen (JaRI), seringkali korban kekerasan seksual saat melapor harus mengikuti prosedural yang berlaku, salah satunya hari libur.

"Ada teman di salah satu universitas di Bandung membawa laporan hari Sabtu mendampingi korban perkosaan. Pas ke polisi, dokternya enggak ada, visumnya nanti hari saja Senin. Perkosaan Sabtu, visum Senin, sudah pasti hilang bukti," ungkap dia.

"Ketika kita mengajukan visum sendiri ke dokter enggak boleh, harus dokternya mereka, tapi tidak ada di tempat ketika terjadi penanganan. Sistem seharusnya sudah baik kepada korban," ungkap Sely.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com