INDRAMAYU, KOMPAS.com - Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menanggapi kritik warganet terkait program Rereongan Sapoe Sarebu (Poe Ibu), yakni gerakan menyisihkan Rp 1.000 per hari sebagai bentuk solidaritas sosial.
Program yang ia gagas itu sempat menuai reaksi beragam di media sosial, bahkan muncul sejumlah video warga yang menyampaikan kritik terhadap idenya tersebut.
Saat menghadiri rapat paripurna Hari Jadi Ke-498 Indramayu di Gedung DPRD Indramayu, Selasa (7/10/2025), Dedi bahkan sengaja menampilkan salah satu video emak-emak yang menyoroti programnya itu.
Menanggapi hal tersebut, Dedi menegaskan bahwa Poe Ibu bukan program wajib, melainkan sekadar imbauan untuk menumbuhkan kepedulian sosial di masyarakat.
Baca juga: Luruskan Gerakan Seribu Sehari, Dedi Mulyadi: Kas Sosial, Tidak Pun, Tak Apa-apa...
"Jadi gini loh, kalian menolak itu kalau kewajiban, jadi menolak, nah ini enggak ada kewajiban, tapi ini ajakan bagi RT, RW, desa dan kelurahan, Pak Bupati dan Wali Kota untuk bersama-sama dengan warga menyelesaikan problem sosial," kata Dedi di Gedung DPRD Indramayu.
Dedi menjelaskan, konsep program Rereongan Sapoe Sarebu sebenarnya bukan hal baru bagi masyarakat Jawa Barat.
Menurut dia, sejak dulu sudah ada tradisi seperti beras perelek dan jimpitan, yang intinya adalah saling membantu antarwarga.
"Jadi, di Jawa Barat ini bukan hal baru, itu sudah berlangsung di seluruh desa dan itu berjalan," kata dia.
Dalam hal ini, Dedi menyayangkan masih banyak warganet yang keliru memahami tujuan program tersebut. Mereka beranggapan uang itu dikumpulkan oleh Gubernur.
Dedi pun menegaskan bahwa pemahaman tersebut salah karena tidak seperti itu.
Untuk menghindari kesalahpahaman dan potensi penyalahgunaan, dengan meluncurkan program Rereongan Sapoe Sarebu, Dedi berencana menyiapkan regulasi agar pengelolaan dana donasi dilakukan secara transparan dan akuntabel.
Ia mencontohkan, seperti halnya uang kas kelas di sekolah yang dikumpulkan bersama, perlu ada keterbukaan mengenai penggunaannya.
"Makanya nanti akan saya atur agar pungutannya dipublikasikan dengan baik," ujarnya.
Lebih lanjut, Dedi menegaskan bahwa semangat program ini adalah menyelesaikan masalah sosial dari bawah, bukan menunggu hingga kasusnya viral di media sosial.
Dedi pun ingin pada 2026 nanti, tidak ada lagi berita viral yang menyebutkan warga tidak mampu membeli seragam sekolah maupun rumah roboh yang tidak tertangani.
Menurutnya, kondisi masyarakat terperhatikan karena viral ini hanya akan membuat jelek suatu daerah.
"Saya tidak ingin ada lagi viral rumah roboh. Kenapa? Karena sudah diselesaikan di tingkat desa atau kelurahan maupun kabupaten/kota," ucap dia.
Lebih lanjut, Dedi juga menyoroti kejadian viral sebelumnya soal ada warga Kuningan, ia mengadu harus bayar operasi ke rumah sakit Rp 110 juta.
"Itu datang ke tempat saya. Nah nanti yang seperti ini tidak perlu datang lagi ke tempat saya, cukup di desanya saja. Misal desanya mampu berapa, nanti lapor ke pengaduan di kabupatennya, kabupatennya enggak usah lama tinggal WA saja, kabupatennya enggak mampu, nanti lapor ke gubernur dan ini akan terselesaikan," kata Dedi Mulyadi.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang