TASIKMALAYA, KOMPAS.com - Warga Kampung Selaawi, Kelurahan Tuguraja, Kecamatan Cihideung, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, telah memberlakukan iuran Rp 1.000 per hari yang dikelola oleh pengurus dan tokoh masyarakatnya untuk berbagai keperluan mendesak sejak setahun lalu.
Dana yang terkumpul dari program iuran masyarakat tersebut saat ini sudah berjumlah Rp 100 jutaan dan disimpan dengan baik oleh salah satu pengurus guna keperluan masyarakat.
Karena itu, masyarakat menolak kebijakan baru Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang meminta iuran warga Jabar Rp 1.000 per hari karena khawatir memberatkan lagi warga setelah program yang sama berlaku selama setahun lebih.
Baca juga: Tanggapi Kritik soal Gerakan Rp 1.000 Sehari, Dedi Mulyadi Tegaskan Ada Pemahaman yang Salah
"Di kampung kami, kebijakan berdonasi Rp 1.000 per hari sudah berjalan 16 bulan dan bukan kebijakan baru. Namanya Gerbu, jadi kami menolak program Gubernur KDM itu," ucap Ustaz Iri Syamsuri, didampingi tokoh masyarakat Kampung Selaawi lainnya, di rumahnya, Selasa (7/10/2025).
"Bukan apa-apa, masalahnya kan di sini sudah jalan. Kami enggak mau kalau iuran warga jadi Rp 2 ribu sehari, akan memberatkan lagi warga kami, kasihan," ucapnya.
Iri menambahkan, kebijakan iuran Rp 1.000 per hari hanya berlaku dihitung per kepala keluarga dan bukan per orang.
Program kampung selama ini sangat efektif mengatasi berbagai permasalahan sosial masyarakat tanpa meminta-minta uang rakyat dari APBD atau APBN.
Apalagi, jika penyaluran uang APBD dan APBN digunakan dengan sangat baik oleh pemerintah daerah, baik kota maupun provinsi, tentunya iuran Rp 1.000 per hari untuk masyarakat tidak perlu ada lagi.
Baca juga: Luruskan Gerakan Seribu Sehari, Dedi Mulyadi: Kas Sosial, Tidak Pun, Tak Apa-apa...
"Seperti kami, masyarakat di kampung kami berhasil seperti ini karena adanya kekompakan dan penggunaan yang transparan kepada masyarakat. Apalagi, kalau uang rakyat berbentuk APBD. Insya Allah, program apa pun akan berjalan, contohnya saja di kampung kami ini," ujar dia.
Selama ini, berbagai kebutuhan mendesak bagi masyarakat, seperti untuk sakit, kekurangan ekonomi, ataupun lainnya, bisa teratasi oleh uang hasil iuran masyarakat.
Sejatinya, pengelolaan uang masyarakat, apalagi di tingkat kampung yang jumlahnya sedikit, harus transparan, apalagi uang rakyat dalam jumlah besar berbentuk APBD.
"Kan awalnya itu, masyarakat di kami kasihan setiap ada kegiatan harus dipungut. Ada kegiatan lagi dipungut, ada apa-apa dipungut, kasihan. Tapi, dengan gerakan Gerbu Rp 1.000 per hari per KK di kampung kami, setiap ada kegiatan tinggal melaksanakan dengan penuh rasa kekompakan dan persaudaraan yang tinggi," tambah dia.
Baca juga: Pro Kontra Donasi Rp 1.000 Per Hari Dedi Mulyadi, dari Transparansi hingga APBD Kelola Lagi
Dengan berjalannya program di kampung ini dan terkumpul saldo yang sudah seratusan juta, masyarakat Kampung Selaawi sepakat untuk terus melanjutkan program ini karena sangat bermanfaat.
Kegiatan ini pun sekaligus memantau kondisi masyarakat perkampungan dengan adanya petugas keliling atau penagih yang dikoordinasi oleh setiap Ketua RT.
"Jumlah RT di kami ada 6. Biasanya kami sepakati para juru tagih diberi upah sesuai kesepakatan, masyarakat pun tidak diberatkan, ada yang bayar harian, mingguan, ataupun bulanan langsung," ungkap dia.
Setiap pengurus pun tidak memaksa jika ada salah satu keluarga yang belum bisa membayar.
Bahkan, jika ketahuan faktor penyebabnya tidak bisa bayar karena sakit atau belum punya uang, justru para pengurus membantunya.
"Kami cari tahu, penyebab belum bisa bayarnya apa. Kalau misalkan diketahui mendesak karena musibah, justru kami sepakat membantunya," ungkap dia.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang