Salin Artikel

Cerita Petani di Kabupaten Bandung Berjuang Hadapi Gagal Panen karena Diserang Hama

Rasa pahit juga mesti dirasakan para petani di sawah yang saat ini sedang mengalami gagal panen.

Konon, gagal panen yang dialami oleh petani di sawah akan berpengaruh besar terhadap keberlangsungan urusan perut masyarakat, dari hulu hingga hilir.

Ujang Hamid (50) salah seorang petani di Desa Cinunuk, Kecamatan Cileunyi, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, membenarkan ihwal petani yang sedang menghadapi gagal panen.

Menurutnya, gagal panen yang sedang dihadapi petani bukan karena cuaca ekstrim, melainkan karena hama yang merusak padi.

"Betul, udah dua bulan gagal panen ini. Gara-gara hama," katanya saat ditemui di sawah miliknya, Kamis (2/1/2023).

Saat ini, ia menyebut tinggal sisa dua bulan lagi sebelum masa panen tiba. Namun, apa daya dua bulan sebelumnya, sebagian besar padi sudah rusak oleh hama.

Tidak hanya rusak oleh hama, tanaman lainnya seperti rumput liar dan yang lainnya kerap menganggu proses pertumbuhan padi.

"Setelah 4 bulan baru panen, nanti kelihatan ada buahnya, kalau gak hama ya kaya gini rumput liar juga harus dijauhkan dari padi karena menganggu juga," jelas dia.

Hama jenis keong, tikus dan burung, kata dia, menjadi predator yang saat ini sedang dihadapi para petani, tak terkecuali petani di Desa Cinunuk.

Rintangan tak berhenti ketika padi masih berusia dini, ketika tumbuh dan siap di panen hama pun masih kerap berdatangan merusak padi.

"Waktu nanam hamanya keong, waktu tumbuh hamanya tikus, waktu jadi hamanya tikus sama burung," terangnya.


Penanganan

Ujang mengatakan, untuk menjaga padi yang masih baru dari hama keong, pihaknya memilih berjaga setiap hari dan mengambil keong keong tersebut menggunakan tangan.

Hal itu dilakukan untuk memastikan bahwa keong tersebut sudah dijauhkan dari padi yang masih baru.

"Untuk mengantisipasi keong ada obatnya, Rp 100 ribu sebotol ukuranya satu liter setengah," kata Ujang.

Kendati bisa menggunakan obat, namun Ujang khawatir hama keong tersebut tidak mati ketika sudah disemprot menggunakan obat.

"Tapi kalau pakai obat itu kadang suka ketipu, pas disemprot itu sudah kaya yang mati, tapi begitu dikasih airnya lagi seperti hidup lagi, jadi sekarang mah sudah diambil pakai tangan saja," jelas dia.

Sementara, untuk menangani hama tikus, Ujang dan rekan petani lainnya terpaksa harus mengurangi kuantitas air di setiap petak sawah.

Hal itu dilakukan, agar hama tikus pergi mencari makanan lain, lantaran stok air di petak sawah sudah di keringkan dengan sengaja.

Selain itu, para petani juga dibantu dengan keberadaan predator ular yang memburu tikus di sawah.

Namun, tetap saja jumlah predator ular di sawah miliknya tak mampu mengimbangi jumlah hama tikus yang ada.

"Tikus itu pasti kalau makan harus berdekatan dengan air, sederhananya buat minum, nah kita keringkan airnya di petak sawahnya. Kalau soal ular, banyak di sini juga tapi gak seimbang aja jumlahnya," jelas dia.

Sedangkan untuk menangani hama burung, Ujang mengaku belum menemukan cara baru untuk menanganinya.

"Nanti hama burung itu pas sudah jadi padinya baru, nah sekarang paling sementara pake jaring lah," ucap dia.


Kerugian capai 4 ton

Ujang mengatakan luas sawahnya saat ini mencapai satu setengah hektar. Dari sawah itu Ujang bisa menghidupi keluarganya.

Biasanya jika kondisinya sedang baik atau tanpa mengalami gagal panen, Ujang bisa menghasilkan 6 ton beras.

"Luas sawah saya satu hektar setengah, kalau lagi bagus panen sampai 6 ton kalau lagi gagal 4 ton," jelas Ujang.

Saat ini, satu kuintal padi dibeli oleh penampung dengan harga Rp 600.000, kemungkinan, jika mengalami gagal panen seperti saat ini harganya bisa meningkat sampai Rp 650.000.

"Jadi jangan dihitung per-petak, tapi hitungnya pertumbak. Satu tumbak sawah bisa bisa menghasilkan 6 sampai 7 kilogram, sebetulnya gak bisa diprediksi juga kalau lagi gagal gini," tambahnya.

Meski saat ini sedang mengalami gagal panen karena hama, para petani di Desa Cinunuk tak mengalami kesulitan soal pupuk.

Ia mengaku kerap mendapatkan pupuk subsidi dari pemerintah dengan harga Rp 120.000.

"Pupuk di kasih dari pemerintah, disubsidi, Rp 120.000, kalau yang susah itu yang harganya Rp 150.000 itu juga yang dijual eceran," sebutnya.

Sawah makin sempit

Saat ini, kondisi sawah di Desa Cinunuk sudah berbeda. Bukan hanya dari sisi kualitas, dari sisi luas saja, sawah-sawah di Desa Cinunuk sudah mulai menyempit.

Tak sedikit petani, yang menjual sawah miliknya masyarakat untuk dijadikan perumahan oleh pengembang.

"Dulu mah sawah di Desa Cinunuk itu luas, sekarang mah nyisa sedikit habis dipakai lahannya sama perumahan atau bangunan industri kaya pabrik," terang.

Bahkan, tidak sedikit petani di Desa Cinunuk, kata Ujang yang sudah tidak punya sawah garapan.

"Ya kalau di sini 80 persen awah punya orang lain buka punya orang sini," tambahnya.

Ujang berharap kondisi sawah kembali seperti sedia kala. Selain itu, dia juga meminta pihak pemerintah turut andil dalam persoalan petani yang saat ini sedang menghadapi gagal panen.

"Ya mintanya mah dibantu lah, kalau mau di kontrol ke sini, lihat situasinya seperti apa di sini, karena kalau kita mogok otomatis enggak pada makan juga kan," pungkasnya.

https://bandung.kompas.com/read/2023/02/02/164322978/cerita-petani-di-kabupaten-bandung-berjuang-hadapi-gagal-panen-karena

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke