Salin Artikel

Cerita Porter di Stasiun Bandung, Berjuang Tetap Senyum meski Beban Kerja Berat

Jasanya terhadap alat transportasi kereta api sudah tidak bisa dianggap biasa saja.

Berprofesi sebagai porter atau pembantu untuk membawakan barang milik orang lain sejak 2006 membuatnya paham betul cara memoles wajah Kereta Api Indonesia.

Baginya profesi sebagai porter merupakan pekerjaan yang amat sangat disyukuri, ketimbang pekerjaan yang pernah digelutinya di masa lalu.

Porter, kata dia, merupakan kunci kesuksesan kereta api menjadi salah satu alat transportasi massal yang pelayanannya masuk kategori ramah.

Masri tak berniat jumawa, hanya saja menurutnya hal itu bisa dipertanggungjawabkan dengan adanya intruksi dari kepala stasiun, serta program yang telah disiapkan oleh KAI terutama di bidang pelayanan.

"Ya sangat setuju, karena yang menghadapi penumpang pertama kali itu ya kita, jadi kalau ada sebutan untuk itu saya secara pribadi setuju banget. Karena kita pertama, kuncinya ada di kita, KAI kunci di porter, terus aparat yang lain juga tapi kan yang pertama Porter," kata dia.

Apa yang dikerjakan bersama rekan porter lainnya tak bisa dianggap sepele. Tanggungjawabnya sebagai porter, kata dia, termasuk besar.

Kepada Kompas.com, pria asal Garut, Jawa Barat itu menjelaskan tugas pokok pekerjaannya.

Tugas paling pokok seorang porter, lanjut dia, hanya melayani. Namun, arti kata melayani bagi seorang porter cukup luas maknanya.

Ketika, penumpang datang, seorang porter mesti sigap menghadang penumpang, apabila penumpang ingin barangnya dibawakan.

Tidak sampai di situ, terkadang porter juga mesti mengarahkan ke mana penumpang tersebut akan pergi.

"Saya itu cuma meladeni, mengarahkan, jangan sampai salah kereta, jangan salah jurusan, jangan salah rangkaian, pintu masuk, dan tempat duduk. Pokoknya jangan sampai tertukar, jadi saya nganter dari depan sampai ke duduk kursi, sampai nyaman, karena kita juga takut salah," ujarnya.

Kendati sudah mendapatkan arahan, baik dari KAI langsung atau dari porter lainnya yang lebih berpengalaman. Masri mengaku, kesalahan kerap terjadi, bahkan ia sendiri pun sempat mengalami.

Kesalahan yang paling sering terjadi, yakni porter salah menempatkan penumpang atau salah memilih lajur kereta.

"Pernah tuh kejadian, harusnya jurusan apa, jam berapa, saya enggak cek tiketnya, ternyata salah jamnya dan salah jurusannya. Kita harus jeli, misalnya harus jurusan Jakarta tapi malah nganter ke jurusan Surabaya, terus jalurnya juga harus jalur 5 tapi malah jalur 6, jadi harus mengarahkan. Jadi kita kalau dianggap rewel sama penumpang itu mah biasa, kaena takut salah," jelas dia.

Baginya dan anggota porter yang lain, penumpang merupakan seorang raja.

Senyum ramah, tutur kata yang santun, hingga sikap yang baik mesti ditunjukan meski kondisi tersebut tidak sesuai dengan realita yang dirasakan porter.

Setiap hari, para porter harus memberikan hormat pada para penumpang. Mau tidak mau, hal itu mesti dilakukan berkali-kali dalam sehari.

Pasalnya, memberikan salam hormat kepada penumpang merupakan salah satu program yang sudah dicanangkan oleh KAI.

"Terus kita harus menjalankan program, kita harus menghormat dulu pada penumpang sebelum pemberangkatan berlangsung. Kita juga menaati program yang lain, seperti misalnya bersih-bersih juga, kan yang punya kuasa itu Kepala Stasiun kan kita harus taat juga terkait apa yang ada di sini. Kalau enggak taat gimana. Sederhananya, kalau kita mah menitipkan diri, karena kasarnya enggak dimintai apa pun tinggal nurut saja," terangnya.


Jika terjadi kesalahan, risiko dimarahi oleh pimpinan pun menjadi pil pahit yang harus ditelan oleh Masri dan kawan-kawan.

Lantaran, ingin terlihat full service dalam melayani penumpang, tak jarang seorang porter dianggap bawel oleh para penumpang.

"Pernah dimarahin, karena salah menempatkan penumpang, terus saat mengangkut barang milik penumpang juga saya pernah dimarahin, suka dukanya itu sih yang paling kerasa mah," tuturnya.

Porter di KAI terbagi menjadi dua tim. Satu tim, kata Masri menggunakan pakaian biru tua, sedangkan tim yang satu lagi mengenakan pakaian merah.

Masri dan timnya sehari mengenakan kemeja berwarna biru tua. Ia memulai aktivitasnya sebagai porter sejak pukul 09.00 WIB sampai pukul 21.00 WIB.

Pengalamannya bertahun-tahun menjadi porter membuatnya tahu betul rutinitas di Stasiun Kereta Api Bandung.

Bahkan, terkait nama serta jurusan kereta, jam keberangkatan, hingga lajur yang akan digunakan satu kereta dengan jurusan tertentu sudah di luar kepala.

"Mulai kerja jam 09.00 WIB pagi sampai 21.00 WIB sampai terakhir Mutiara dan Harina yang ke Surabaya terkahir, istirahat pulang ke rumah kadang juga istirahat di Stasiun. Kemudian saya mulai lagi jam 03.00 WIB pagi. Tapi keretanya datang jam 04.00 lebih. Setelah saya selesai saya gantian dengan group 2 yang palai kemeja merah. Jadi ada shift," ucap dia.

Resiko kerja yang dialami porter bukan hanya soal salah mengantarkan penumpang.

Namun, risiko kesehatan pun rentan dialami seorang porter. Bayangkan saja, satu orang porter maksimal membawa barang seberat 20 kilogram.

Dalam perkembangannya, beban tersebut telah diatur oleh pihak KAI. Berbeda dengan masa sebelum KAI mengalami perubahan, seorang porter kadang membawa barang penumpang lebih dari aturan yang sekarang berlaku.

"Jangan melebihi 20 kilogram, karena ada aturannya, tapi kita enggak ngasih tarif ke pelanggan. Soalnya emang enggak boleh, jadi kalau sekarang bebannya 20 kilogram dia ngasih cuma Rp 10.000 ya saya terima, tergantung konsumennya," jelas dia.

Sekalipun mesti mengangkut barang bawaan penumpang seberat 20 kilogram, akan tetapi saat ini para porter telah dibantu dengan fasilitas troli yang disediakan KAI.

Meski begitu, saat ini Masri tak dapat menentukan pendapatannya per-hari. Hanya saja, jika Stasiun sedang ramai, upah sebesar Rp 100.000 hingga Rp 200.000 bisa dikantongi.

"Tergantung dapat rezekinya, sekarang sebetulnya agak susah menentukannya. Ya sedang ramai mah kurang lebih Rp 100.000 sampai Rp 200.000 bersih," tuturnya.

Kendati tak memiliki penghasilan yang tak menentu, pendapatan yang hari ini tetap ia syukuri. Pasalnya, ia membandingkan saat Covid-19 melanda.

Profesi porter pun, kata dia, sangat terimbas atas kejadian tersebut. Ia mengaku sangat terganggu, bahkan, sempat tak memiliki penghasilan selama empat bulan.

"Saya stres, terdampak banget, kadang hanya dapet buat rokok saja. Masa saya harus minta ke orang tua, jadi para porter itu kena imbasnya, tapi ada tunjangan dari Kepala Stasiun, dari Dirut PT KAI dan Menteri Perhubungan (Menhub)," kata dia.


Ia juga mengungkapkan suka duka menjadi seorang porter. Sukanya, kata Masri, para penumpang kerap memberikan makanan yang enak dan uang tip

Sedangkan dukanya akan lenih terasa ketika sedang mengalami sakit tapi para penumpang meminta dibawakan barangnya.

"Ada, dukanya kalau sedang sakit belum ada pelanggan yang meminta di bawakan barangnya, jadi uang pas-pasan, ada sedikit dukanya, tapi gimana lagi," terang dia.

Masri memulai karirnya di dunia porter sejak 2006 hingga kini. Pengabdian yang terbilang cukup panjang.

"Saya jadi porter mulai dari tahun 2006. Sebelumnya mencari nafkah apa adanya, mau kerja cuci mobil ke atau apa lagi. Saya Asli Garut, sekarang ngontrak di Kiaracondong," kata dia.

Jauh sebelumnya, Masri sempat melalang buana di tempat yang lain. Pekerjaan sebagai kuli kasar sekalipun sempat ia kerjakan demi menghidupi anak-anaknya.

"Dulu saya sempat kerja dengan paman saya jadi kenek di bidang mabel, itu sekitar tahun 1997-1998 di Jakarta, terus ikut lagi ngecat di perusahaan yg bergerak di kontraktor, terus kerja juga di pengecatan mobil. Kerja yang penting halal, bisa menafkahi keluarga, dan akhirnya berlabuh di Stasiun Bandung dari tahun 2006 sampai sekarang. Alhamdulillah masih dikasi umur, sehat masih bisa ngangkut barang," ungkapnya.

Dari hasil menjadi seorang Porter, Masri berhasil membesarkan serta menyekolahkan anak-anaknya seorang diri, sebab sang istri telah lama meninggalkan ia dan tiga orang anaknya.

Meski berpenghasilan pas-pasan, ketiga anak Masri mengenyam pendidikan hingga Suka Menengah Pertama (SMA).

"Saya biayai semua anak-anak saya sampai SMA itu saya nafkahi dari hasil saya jadi porter," ungkapnya.

Meski sekarang ia sangat bersyukur biasa mendapatkan pekerjaan sebagai seorang porter dengan penghasilan yang tak menentu.

Masri berharap ada kebijakan baru dari PT KAI terkait nasib para porter. Paling tidak, kata dia, porter diakuisisi sebagai petugas PT KAI dan mendapatkan gaji bulanan.

"Enggak ada, intinya mah itu jasa porter saja. Jadi sebetulnya sudah diterima di sini juga sudah bersyukur, tapi kalau ada misalkan ada gaji bulanan seperti itu mah saya sangat senang dan berterima kasih. Kan sekarang mah kalau ramai dapet banyak, kalau enggak ya sepi, jadi kalau ada gitu gaji bulanan bersyukur sekali," bebernya.


Meski jasa seorang porter kerap dilupakan dan tak pernah mendapatkan penghargaan apa pun, Masri berharap rekan-rekan sesama porter tetap bersikap santun, ramah, dan meningkatkan profesionalitas kerjanya.

Sebab, ia tetap meyakini, keramahtamahan yang diraih perusahaan kereta api, terselip jasa seorang porter.

"Ke depannya kita (porter) bisa saling bekerjasama melayani dengan baik pada penumpang sampai dapat penilaian bagus. Karena kita ini di suruh sama Kepala Stasiun Kereta Api harus melayani dengan baik, sopan santun, pelayanan kita harus rapih, jadi harus meningkat. Jadi penumpang juga seneng," katanya.

Tak sampai di situ, ia tetap mendoakan transportasi kereta api tetap menjadi yang terdepan dalam melayani perjalanan penumpang.

"Mudah-mudahan alat transportasi kereta api itu ramai penumpangnya jadi ada dampak ke kitanya juga kalau penumpang ramai," pungkasnya.

https://bandung.kompas.com/read/2023/03/15/164013778/cerita-porter-di-stasiun-bandung-berjuang-tetap-senyum-meski-beban-kerja

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke