Salin Artikel

Cerita Ibu yang Besarkan 2 Bayi Stunting: Kemapanan Ekonomi Tak Jamin Anak Kita Sempurna

Pelan-pelan suaranya mulai bergetar, mana kala memulai kisah perjuangannya membesarkan Sabrina dan Laras.

Kepada Kompas.com, Atin memulai kisah heroiknya dengan menceritakan bagaimana ia berjuang melahirkan Sabrina.

Sabrina balita berusia empat tahun itu, lahir di salah satu bidan di Kecamatan Cileunyi, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, pada Januari 2020.

Atin mengaku, tak ada yang aneh saat proses kelahiran Sabrina. Secara fisik, ia masih prima dan merasa sehat kala itu. Sabrina lahir normal tanpa ada operasi sesar.

Namun, rasa takutnya mulai muncul ketika berat badan Sabrina tak sesuai dengan rata-rata Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) BBLR di Indonesia.

Sabrina, lahir dengan berat badan 1,5 kilogram masih jauh dari BBLR yakni 2,5 kilogram.

"Kaget, waktu berat badan Sabrina pas lahir jauh gitu, dia itu kecil waktu lahir," katanya ditemui di kediamannya, Senin (10/4/2023).

Lantaran, tak ingin membuat khawatir Atin dan Ivan (38) sang suami. Bidan yang membantu Atin melahirkan Sabrina merekomendasikan bayi mungil itu untuk dirawat di salah satu Rumah Sakit di Jalan Soekarno-Hatta, Kota Bandung.

Di sana, kata Atin, Sabrina kecil dirawat selama 15 hari, agar kesehatan Sabrina bisa lebih terjamin.

Atin menyebut, putri sulungnya itu mendapatkan perawatan kelas VIP. 

Atin merupakan salah Aparatur Sipil Negara (ASN) di Kabupaten Bandung, sementara Ivan merupakan salah satu karyawan di Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

"Saya dan suami itu bisa di bilang cukup bahkan lebih, tapi apa daya ketika dua anak kami seperti ini kondisinya," kata dia.


Bak disambar petir, Atin mengaku sulit menerima saat Sabrina divonis dokter mengidap penyakit paru-paru basah.

Hal itu, kata dia, yang menyebabkan putri sulungnya tak memiliki berat badan normal seperti bayi lainnya.

"Kata Dokter penyebabnya karena saya akrab dengan perokok, padahal suami saya enggak merokok, mungkin di tempat kerja atau waktu mudah dulu saya sering mengisap asap rokok lah," terang dia.

Saat hamil Sabrina, ia mengakui tinggal di rumah yang minim sirkulasi udara.

"Ya dulu kan masih belum ada rumah, masih ngontrak, kata dokter itu juga bisa jadi penyebab," tuturnya.

Lantaran, menderita penyakit yang cukup berat sejak kecil. Atin mengungkapkan, Sabrina tumbuh dengan kondisi yang sangat memprihatinkan.

Berkali-kali, Sabrina mesti dirawat di RS, lantaran fisiknya yang lemah. Tak jarang, ia dan sang suami merasa tak tega, mana kala harus menyaksikan putri sulungnya batuk disertai lendir berwarna.

"Kalau udah batuk itu kadang lendirnya itu berwarna, kuning, hijau bahkan berdarah, saya udah pasti nangis kalau dia udah gitu," tuturnya.

Biasanya, setelah batuk-batuk, kata dia, Sabrina pasti mengalami sakit di bagian dada dan demam.

"Udah kalau udah gitu, kadang kami siap-siap buat panggil dokter atau bawa ke RS atau gimana caranya," terang dia.

Kini, di usianya yang menginjak 4 tahun, Sabrina hanya memiliki tinggi 74,3 sentimeter dan berat 10,2 kilogram.

Merujuk pada data Kementrian Kesehatan RI tinggi badan ideal anak berusia empat tahun adalah 94,1-111,3 sentimeter (perempuan) dan 94,9-111,7 sentimeter (laki-laki). Sedangkan berat badan idealnya adalah 12,3-21,5 kilogram (perempuan) dan 12,7-21,2 kilogram (laki-laki).

Setahun berselang, usai Sabrina lahir. Atin kembali mengandung putri keduanya Laras.

Kala itu, ia mengaku sudah berpengalaman soal pengetahuan kandungan dan kondisi bayi yang baru lahir.


Ia mengatakan, kehamilan Laras, betul-betul sangat dipersiapkan. Mulai dari sterilisasi ruangan, asupan gizi, hingga hal-hal yang mendukung kesehatan bayi di dalam kandungan lainnya pun ikut dilaksanakan.

Bagi pasangan ini, fasilitas penunjang kesehatan bukan persoalan sulit apabila harus dihadirkan di dalam rumah.

"Memang jaraknya cuma setahun, sambil besarkan Sabrina saya juga hamil lagi, agak ada pengalaman, jadi saya dan suami lebih siaga," katanya.

Laras lahir pada 2021, saat Covid-19 sedang mewabah. Upaya melahirkan Laras bukan tanpa hambatan.

Di tengah pembatasan aktivitas, ia harus waspada agar tak ikut tertular wabah tersebut.

Ia masih mengingat betul bagaimana ketatnya untuk bepergian untuk cek kehamilan. Selain, karena mesti meninggalkan Sabrina, ia juga harus melindungi dirinya agar tak terpapar.

Kala itu, ia meyakini apa yang sudah dilaluinya akan membuahkan hasil yang baik atau positif. Hanya satu, pintanya, berharap anak dalam kandungnya (Laras) bisa sehat tanpa harus menderita seperti putri sulungnya Sabrina.

"Tahun-tahun yang sulit juga, aktivitas dilarang, mau check up juga kesulitan. Saya mesti nitip ke neneknya untuk rawat Sabrina kalau mau cek, yang paling pentingnya sih enggak kena Covid," ungkapnya.

Sebagai bentuk antisipasi, Atin sempat menceritakan kepada dokter bagaimana kondisi Sabrina. Sebuah upaya atau langkah apakah kondisi kehamilan keduanya baik-baik saja.

Atin yakin betul, sebab saat hamil kedua, semua kebutuhan untuk menunjang itu cukup terpenuhi.

"Mungkin saya percaya diri, karena beda dengan pas Sabrina, saya masih ngontrak, sirkulasi udaranya enggak baik. Sekarang sudah cukup aman, tapi ya ternyata takdir," terangnya.


Seperti kata pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga, begitu Atin menyebut nasibnya. Ya, hamil anak kedua di tengah badai Pandemi Covid-19 bukan perkara gampang. Resiko tinggi harus ditebus.

Apa yang ditakutkannya pun terjadi, meski benteng kewaspadaan sudah dibangun sekokoh mungkin agar tak tertular, namun nasib berkata lain.

Atin di vonis terpapar virus Covid-19, sebuah situasi yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.

Penanganan extra pun dilakukan oleh pihak Rumah Sakit, mengingat saat itu usia kehamilan Atin sudah cukup tua.

"Sudah enggak bisa apa-apa, waktu itu saya minta dicabut nyawa saja sekalian. Yang kebayang gimana kondisi bayi saya nantinya, itu aja yang di khawatirkan," ujar dia.

Lantaran berada pada situasi yang sulit, akhirnya, kata dia, Dokter terpaksa melakukan operasi sesar, guna menyelamatkan Laras.

Pilihan itu diambil, atas berbagai pertimbangan. Ia mengatakan, pilihan itu semata-mata untuk kepentingan buah hatinya.

"Saya terpapar Covid sekitar dua minggu, waktu itu usia kandungan kalau enggak salah di bawah, 32 minggu," terangnya.

Laras lahir dengan panjang 38 centimeter dan berat badan 1,4 kilogram. Kondisi yang hampir sama dialami oleh kakaknya Sabrina.

Hantu berupa gangguan pernafasan, masalah pada jantung atau penyakit komplikasi lainnya terus membayangi Atin dan sang suami pasca kelahiran Laras.

Benar saja, dokter pada saat itu menyebutkan bahwa kondisi Laras sangat lemah. Ia menyebut, gangguan pernafasan Laras bakal terganggu nggu, kemudian metabolisme Las pun akan terganggu.

"Sama kejadiannya terulang, buat saya meskipun beda tapi tetap rasanya sama," kata dia.

Pasca melahirkan, Laras dirawat di Rumah Sakit selama dua minggu. Setelah itu, Atin dan suaminya sepakat untuk merawat dan membesarkan Laras di rumah, sama seperti kala memberikan kasih sayang pada Sabrina.

Kini Laras telah menginjak usia 3 tahun, pertumbuhan Laras pun terlihat berbeda. Balita seusianya, rata-rata sudah bisa diajak berbicara, namun Laras masih harus terbata-bata.

Bahkan, rambutnya pun mengalami keterlambatan tumbuh. Seperti mengalami kebotakan pada orang dewasa, Laras hanya memiliki rambut di bagian belakang, sementara di bagian depannya masih tipis.

Laras hanya memiliki berat badan 11 kilogram, dengan tinggi 72,3 sentimeter. Berat dan tinggi yang dimilik Laras jelas jauh berbeda dengan anak seusianya.

"Semua dijalani, sama seperri Sabrina, kami beri kasih sayang sepenuhnya," jelas dia


Sabrina dan Laras merupakan sebagian kecil dari potret anak stunting di Kabupaten Bandung, Jawa Barat.

Meski kedua orang tuanya tergolong memiliki ekonomi mampu, dua gadis kecil itu mesti berjuang menghabiskan hari-harinya kelak.

Sementara, sang Ibu Atin, kini sudah bisa menerima apa yang dikehendaki Tuhan kepada keluarganya.

Langkah yang pasti akan Atin dan Ivan tempuh yaitu memberikan perhatian khusus bahkan ekstra untuk kedua buah hatinya.

"Mau bagaimana pun saya enggak boleh malu punya anak dengan perbedaan, saya dam suami komitmen sampai akhir hayat membesarkan mereka apapun keadaanya, saya lebih terbuka ke masyarakat, bahwa kelebihan ekonomi juga tak menutup kemungkinan anak kita memiliki kekurangan," pungkasnya.

https://bandung.kompas.com/read/2023/04/10/165256278/cerita-ibu-yang-besarkan-2-bayi-stunting-kemapanan-ekonomi-tak-jamin-anak

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke