Salin Artikel

Bercak Darah Hafidhin Royan dan Lahirnya Museum Mini Tragedi Trisakti

Tulisan itu terpampang di tembok kamar Hafidhin Royan, mahasiswa Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Universitas Trisakti yang tewas ditembak pada 12 Mei 1998.

"Tadinya tulisan ini ada di depan rumah, sama ayah Royan dibawa ke dalam dan dikasih bingkai. Ada juga spanduk bertuliskan tanda tangan mahasiswa-mahasiswa dengan panjang 14 meter yang disimpan di sini. Ada yang menulis pakai darah," ujar Sunarmi Junus, ibunda Royan sapaan akrab Hafidhin Royan saat ditemui di kediamannya di Bandung, Jumat (19/5/2023).

Kamarnya tidak banyak berubah, potretnya masih sama seperti 25 tahun lalu di mana Royan sering merebahkan tubuhnya untuk beristirahat.

Di kamar itu, semua arsip dan barang bukti kematian seakan berbicara betapa kejamnya negara menggunakan aparatnya tega menghabisi nyawa mahasiswa yang memperjuangkan demokrasi.

Di satu etalase yang sama, barang-barang Royan mulai dari tas ransel, sepatu, Kartu Mahasiswa, KTP, SIM, dan dompet terpajang rapi.

"Itu bukan kotor. Itu darah yang nyiprat ke bukunya saat kejadian. Waktu itu, Royan ditembak di bagian kepala tembus ke kepala bagaian belakang sehingga darahnya. Saat itu dia pakai barang-barang ini. Tas sama sepatunya sudah dicuci, kalau bukunya cuma dijemur jadi itu masih kelihatan bekas darahnya," kata Sunarmi.

Terpukulnya sang ayah dan lahirnya museum mini

Royan adalah anak lelaki satu-satunya dari 5 bersaudara. Ia lahir pada 28 September 1976 dari pasangan Sunarmi Junus dan Enus Junus di Kota Bandung.

Ayahnya, Enus Junus menjadi orang yang paling terpukul atas Tragedi Trisakti, berpulangnya Royan sebagai anak lelaki satu-satunya di usia yang masih 22 tahun.

Royan diboyong ke rumah sakit Sumber Waras untuk mendapat perawatan medis, namun timah panas yang menembus kepalanya menyebabkan nyawa Royan tak sempat diselamatkan.

"Saat visum, yang tahu saya sama Husnun (kakak Royan). Jadi memang melihat betul lukanya. Ayahnya gak berani masuk ruang visum, dia gak tega lihat anak kesayangannya," tutur Sunarmi.

"Setelah kejadian 12 Mei itu, ayahnya rajin mengumpulkan koran setiap hari. Dia mengamati berita-berita mengenai tragedi itu. Koran-koran yang ia kumpulkan kemudian dikliping dan disimpan dalam kamar ini," kata Sunarmi.

Ayahnya juga mulai menata barang-barang milik Royan mulai dari koleksi kaset musik yang disenanginya sampai hasil kerajinan tangan sejak zaman Royan sekolah.

Kaset pita Metallica, Antrax, Sepultura, Pantera, Slayer, Ramones, sampai musisi metal lokal seperti Puppen.

"Memang anaknya suka musik. Keluarga bahkan baru tahu ada studio recording yang datang bilang kalau Royan sudah mengirimkan dami musik," sebut Sunarmi.

Kamarnya pun diset sedemikian rupa dengan menambah lemari kaca dan lampu pijar tanpa merubah desain interior.

Selain koleksi barang dari mulai hobi sampai hasil karya Royan, ayahnya juga merapikan barang bukti saat Royan tewas ditembak.

Begitupun barang-barang pasca kematian Royan, surat-surat ucapan dari kawan-kawannya, spanduk-spanduk tuntutan saat aksi demonstrasi, sampai sertifikat dan penghargaan dari berbagai lembaga.

Dari sekian banyak koleksi, sertifikat dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi koleksi yang mencolok.

Presiden SBY memberikan tanda hormat sebagai Pahlawan Reformasi melalui Surat Keputusan nomor 057/TK/Tahun 2005.

"Sertifikat ini diberikan kepada korban-korban lainnya waktu itu. Waktu itu saya sama suami diundang ke istana. Beberapa bulan setelah Royan diberi tanda hormat Pahlawan Reformasi, ayahnya meninggal dunia pada 2006," tandasnya.

https://bandung.kompas.com/read/2023/05/19/185500678/bercak-darah-hafidhin-royan-dan-lahirnya-museum-mini-tragedi-trisakti

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke