Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kekhawatiran Ridwan Kamil soal Penataan Ruang IKN

Kompas.com - 10/02/2022, 11:38 WIB
Dendi Ramdhani,
Abba Gabrillin

Tim Redaksi

BANDUNG, KOMPAS.com - Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil menyarankan agar pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) memperhatikan penghematan lahan.

Hal itu ia sampaikan saat menjadi narasumber dalam diskusi virtual bertajuk "Paradigma Kota dan Arsitektur di Masa Depan, Arsitektur sebagai Artefak Peradaban Dalam Perspektif Istana", yang digelar Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Nasional, Rabu (9/2/2022) malam.

Berdasarkan informasi yang didapatkan Ridwan Kamil, lahan IKN dalam rencana pengembangannya mencapai 250.000 hektar.

Jika IKN didesain sebagai kota yang nyaman ditinggali, menurut Ridwan Kamil, maka konsep kepuasan pada lingkungan atau livability harus dimiliki.

“Saya kira, boros lahan menjadi sebuah kebiasaan di kita. Kalau membangun skala besar, itu cenderung suka luas-luasan,” kata pria yang akrab disapa Kang Emil itu.

Baca juga: Sultan Kutai Kartanegara: Jangan Ada yang Hambat IKN

Dengan lahan IKN yang terlalu luas, ia khawatir masyarakat yang hendak mengakses Istana Negara nantinya seperti memasuki kawasan industri.

Untuk itu, Emil mengingatkan bahwa dalam mendesain ruang sebuah kota ataupun IKN, pembangunan harus berprinsip seperti membuat baju, tidak sempit dan longgar.

“Kegagalan itu terjadi di Brazilia, itu terjadi di Ibukota Myanmar, di mana-mana pembangunan fisik berusaha menaklukan tanah seluas-luasnya, lupa bahwa manusia itu punya batas psikologis, batas motoris yang harus disusun," tutur Emil.

Baca juga: Ogah Jual Lahan untuk Proyek IKN, Hashim Djojohadikusumo Mau Buat Konservasi Orang Utan

Menurut Emil, hal seperti di negara lain itu juga terjadi di Indonesia.

"Makanya sebenarnya saya tidak suka kampus di Indonesia yang terlalu jauh bangunannya. Jadi antar bangunan harus naik mobil, turun mobil, dan sebagainya. Karena kebiasaan tidak menciptakan kota dengan ukuran skala yang benar, kita jadi terbiasa menerima budaya bahwa menikmati arsitektur harus naik mobil,” kata Emil.

Ia juga mencontohkan Dubai yang sukses menjadi kota berarsitektur modern, indah dan inovatif, namun tidak nyaman untuk menjalani kehidupan.

Menurut dia, Dubai menjadi contoh bagaimana penataan ruang tidak bisa menyandingkan yang kaya dan miskin, yang justru melahirkan ketidakadilan ruang.

Dia berharap, IKN belajar dari kegagalan di negara lain.

“Yang saya khawatirkan di tahap berikutnya dari Ibu Kota Negara ini adalah nanti hanya kumpulan katalog arsitekstur, kumpulan bangunan-bangunan yang dibahas estetikanya, teori bangunannya, tapi tidak membentuk sebuah peradaban kota,” kata dia.

Dari sudut pandang dirinya sebagai arsitek dan perencana kota, menurut Emil, urusan IKN bukan semata memindahkan dan membangun infrastruktur.

Tetapi, IKN adalah membangun masa depan.

"Membangun masa depan harus punya identitasnya. Sejarah arsitektur modern lebih kurang mereduksi banyak sekali kearifan lokal yang tentunya harus kita carikan definisi barunya di IKN,” ujar Emil.

Baca juga: IKN adalah Singkatan dari Ibu Kota Negara Baru, Apa Itu IKN Nusantara?

Untuk itu, Emil mendorong asosiasi IAI untuk berperan aktif dalam proses pembangunan IKN.

Bila perlu, menurut Emil, IAI bisa menjadi konsultan Presiden Joko Widodo agar proses pembangunan IKN tidak keluar dari prinsip membangun peradaban kota lewat rumus desain, density dan diversity.

"Ini momen bersejarah banget, enggak pernah mungkin akan terulang ya ibu kota dua kali, enggak akan terulang lagi,” kata Emil.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com