Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah 3 Tahun Bencana Tanah Bergerak di Kampung Gunungbatu Sukabumi, Penyintas Resah Karena Huntap yang Dijanjikan Belum Terwujud

Kompas.com, 20 April 2022, 20:48 WIB
Budiyanto ,
Reni Susanti

Tim Redaksi

SUKABUMI, KOMPAS.com - Para penyintas bencana yang menghuni hunian sementara (Huntara) di Kampung Ciboregah, Desa Kertaangsana, Kecamatan Nyalindung, Sukabumi, Jawa Barat resah.

Keresahan ini terjadi karena para penyintas bencana yang berasal dari Kampung Gunungbatu desa setempat belum ada kepastian untuk direlokasi ke hunian tetap (Huntap) yang lebih aman dan nyaman.

"Bencana yang kami alami sudah tiga tahun, kami menempati huntara ini lebih dua setengah tahun," ungkap seorang penyintas bencana Ade Aisyah (53) kepada Kompas.com ditemui di huntara, Selasa (19/4/2022).

Baca juga: Tanah Bergerak di Nyalindung Sukabumi, 115 Rumah Terancam Rusak

Ade menuturkan, pemerintah menjanjikan para penyintas bencana akan direlokasi ke huntap yang aman. Namun sebelum pindah ke huntap selama dua tahun akan menempati huntara.

"Tapi mana, sekarang sudah lebih dua tahun tidak ada huntapnya," tutur Ade yang rumah panggungnya ambruk karena tanah sebagai pondasinya terus retak membesar.

Menurut Ade, saat ini para penghuni sudah tidak betah dan tidak nyaman menempati huntara. Kondisi bangunan sudah sangat memprihatinkan. Dinding-dindingnya mudah jebol dan bolong-bolong.

Sejak awal menempati, bila hujan airnya masuk ke dalam ruangan dan bagian gentengnya mengakibatkan suara berisik. Saat ini bila hujan banyak yang bocor ke dalam.

"Dinding-dinding sudah bolong-bolong, makanya ditambal. Ular juga sempat masuk ke dalam, jadi sekarang takut," kata Ade.

Hal senada diungkapkan Nurhayati (32) dan beberapa penyintas lainnya. Mereka mengaku tinggal di huntara kesulitan mencari nafkah.

Baca juga: 233 Jiwa Mengungsi Akibat Tanah Bergerak di Nyalindung Sukabumi

Petani yang memiliki kebun di Kampung Gunungbatu pun terkendala jarak. 

"Awalnya saya buka warung di sini. Tapi sudah setahun ini sepi sekali, ditambah ada wabah Covid-19. Jadi sekarang buka di jalan raya, tapi masih sepi juga," aku Nurhayati.

Begitupun dengan suaminya, pandemi Covid-19 membuatnya sulit mendapatkan pekerjaan. Akhirnya mereka mengandalkan warung. 

Tidak punya rumah lagi

Seorang tokoh masyarakat, Tari Suwarta (75) yang juga penyintas bencana, meminta pemerintah lebih memerhatikan semua penyintas bencana.

"Pemerintah seharusnya memasukkan data semua penyintas bencana ke Dinas Sosial untuk penyaluran bantuan. Karena warga di sini semuanya mengalami musibah, mengalami kesulitan," tutur Tari.

"Di sini (huntara) baik yang kaya maupun yang tidak mampu sama-sama mengalami kecelakaan, sama-sama kehilangan rumah, sama-sama gak punya rumah lagi," sambung dia.

Menurut Tari, warga yang menghuni huntara merupakan para pengungsi terdampak bencana gerakan tanah.

Namun tidak semua warga terdampak memilih tinggal di huntara, ada beberapa penyintas masih mengungsi di rumah kerabat hingga mengontrak rumah.

"Di sini saya dan masyarakat bukan yang mengungsi, tapi diungsikan. Karena diungsikan harusnya dipelihara oleh pemerintah," ujar dia.

Baca juga: Korban Bencana Tanah Bergerak di Nyalindung Sukabumi Mengungsi di Tenda

Terkait huntap, Tari menuturkan lahan untuk pembangunan huntap sudah ada di Cimenteng. Namun hingga saat ini belum ada tanda-tanda pembangunan huntap akan dilaksanakan.

"Yang penting laksanakan dulu lahannya diratakan sama buldozer. Kalau sudah diratakan kan jadi jelas bagi masyarakat  huntap akan dibangun," tuturnya.

"Kalau pembangunan huntapnya tergantung ada uangnya pemerintah. Tapi kalau begini, lahan sudah ada tapi tidak ada kegiatan, kami ini seperti dipermainkan," sambung Tari.

Lahan huntap 

Kepala Desa Kertaangsana, Ence Ruswandi, membenarkan bila warganya terutama para penyintas bencana gerakan tanah Kampung Gunungbatu tengah resah. 

"Perjalanan bencana ini sudah tiga tahun, warga sudah resah sudah sering menanyakan huntap," kata Ence saat ditemui Kompas.com di Kantor Desa Kertaangsana, Selasa.

Saat bencana terjadi, April 2019, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sukabumi menjanjikan huntap bagi penyintas bencana. 

Tapi sebelum dipindahkan ke lokasi huntap, para penyintas bencana akan menempati huntara selama dua tahun.

"Namun sampai detik ini apa yang dijanjikan pemerintah belum berwujud," ujar Ence.

Dia mengakui hampir setiap waktu, warga penyintas bencana gerakan tanah selalu mempertanyakan mengenai pembangunan huntap.

Baca juga: Tanah Bergerak di Nyalindung Sukabumi, Jumlah Rumah Rusak Bertambah

Para penyintas bencana ada yang datang ke kantor desa, ada juga mempertanyakan lewat telepon, whatsapp hingga media sosial lain.

"Bukan hanya satu orang dua orang yang datang ke kantor desa, menanyakan via WA, via telepon, inbok facebook," aku dia.

"Mereka menanyakan, pak kapan, kapan, dan kapan kami mendapatkan huntap yang dijanjikan Pemkab Sukabumi," sambung Ence menirukan pertanyaan warga penyintas bencana.

Dia menjelaskan, Pemerintah Desa (Pemdes) Kertaangsana sudah menyampaikan keluhan dan pertanyaan para penyintas bencana kepada Pemkab Sukabumi melalui Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Sukabumi.

"Kami sudah berusaha komunikasikan dengan Pemkab, termasuk pak bupati dan pak wakil bupati juga sudah kami sampaikan," jelas Ence.

Namun sampai detik ini belum ada jawaban yang bisa dipegang dan belum bisa memberikan jawaban dan menenteramkan hati masyarakat, terutama para penyintas.

Sebenarnya, lahan untuk pembangunan huntap sudah ada dengan luas 5 hektar. Lahan seluas itu didapat dari PT Pasir Salam yang penyerahannya langsung diterima Pemkab Sukabumi di Pendopo.

"Lahan sudah ada, begitu juga persyaratan administrasi dari masyarakat untuk mendapatkan huntap sudah dipenuhi," tutur Ence.

Catatan Kompas.com bencana pergerakan tanah di Kampung Gunungbatu, Desa Kertaangsana, Kecamatan Nyalindung, Sukabumi mulai diketahui warga pada awal April 2019.

Warga mulai ramai membicarakan terjadinya retakan-retakan di tanah, lantai dan dinding rumah sekitar pertengahan April 2019. Saat itu bersamaan dengan pelaksanaan Pemilihan Presiden 2019.

Kompas.com mengunjungi lokasi pada Senin (22/4/2019) siang. Saat itu sudah terdata sedikitnya 40 unit rumah rusak terdampak bencana gerakan tanah dan 115 rumah lainnya dalam kondisi terancam.

Selain itu gerakan tanah ini mengakibatkan ruas Jalan Sukabumi- Sagaranten di kampung setempat anjlok dan mengancam 26 hektar lahan persawahan.

Data dari Pemdes Kertaangsana, Selasa (19/4/2022) menyebutkan warga terdampak bencana tanah bergerak berjumlah 174 kepala keluarga (KK) dengan jumlah jiwa 474 orang. Sedangkan rumah berjumlah 129 unit rumah.

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang



Terkini Lainnya
Mobil Berisi 1 Keluarga Terjun ke Jurang Sedalam 20 Meter di Puncak Bogor, 4 Orang Luka-luka
Mobil Berisi 1 Keluarga Terjun ke Jurang Sedalam 20 Meter di Puncak Bogor, 4 Orang Luka-luka
Bandung
Disorot Pakar Hukum, Dedi Mulyadi Tegaskan Surat Edaran untuk Mitigasi Bencana, Lindungi Warga
Disorot Pakar Hukum, Dedi Mulyadi Tegaskan Surat Edaran untuk Mitigasi Bencana, Lindungi Warga
Bandung
Banjir Meluas ke 20 Desa di Cirebon, BPBD Siaga Evakuasi Warga
Banjir Meluas ke 20 Desa di Cirebon, BPBD Siaga Evakuasi Warga
Bandung
Dedi Mulyadi Siapkan Rp 1 Miliar untuk Pulangkan 300 Warga Jabar dari Aceh
Dedi Mulyadi Siapkan Rp 1 Miliar untuk Pulangkan 300 Warga Jabar dari Aceh
Bandung
Catat Tanggalnya, Prediksi Lonjakan Arus Kendaraan Saat Natal dan Tahun Baru di Puncak Bogor
Catat Tanggalnya, Prediksi Lonjakan Arus Kendaraan Saat Natal dan Tahun Baru di Puncak Bogor
Bandung
Pagi Buta, Ular Kobra Tiba-tiba Muncul Menyelinap di Ruang Tamu Warga Indramayu
Pagi Buta, Ular Kobra Tiba-tiba Muncul Menyelinap di Ruang Tamu Warga Indramayu
Bandung
Kecelakaan di Tol Jagorawi, Mobil Boks Tabrak Kendaraan Lain hingga Hangus Terbakar
Kecelakaan di Tol Jagorawi, Mobil Boks Tabrak Kendaraan Lain hingga Hangus Terbakar
Bandung
Banjir Rendam Lima Kecamatan di Kabupaten Cirebon, Warga: Ini Tak Biasa...
Banjir Rendam Lima Kecamatan di Kabupaten Cirebon, Warga: Ini Tak Biasa...
Bandung
Sopir Ngantuk, Mobil Boks Tabrak Truk di Tol Jagorawi Hingga Terbakar
Sopir Ngantuk, Mobil Boks Tabrak Truk di Tol Jagorawi Hingga Terbakar
Bandung
Setelah Sukabumi, Bogor Miliki Kebun Sawit Terluas di Jabar: Mayoritas Berusia 20 Tahun
Setelah Sukabumi, Bogor Miliki Kebun Sawit Terluas di Jabar: Mayoritas Berusia 20 Tahun
Bandung
Tak Bisa Turun dari Atap dan Terjebak Berjam-jam, Kakek di Bogor Dievakuasi Damkar Pakai Tandu ke Rumah Sakit
Tak Bisa Turun dari Atap dan Terjebak Berjam-jam, Kakek di Bogor Dievakuasi Damkar Pakai Tandu ke Rumah Sakit
Bandung
Dedi Mulyadi Jemput Warga Jabar yang Terdampak Banjir di Aceh
Dedi Mulyadi Jemput Warga Jabar yang Terdampak Banjir di Aceh
Bandung
Soal Penolakan Warga Terminal Cicaheum, Farhan Upayakan Relokasi ke TOD BRT Paling Ramai
Soal Penolakan Warga Terminal Cicaheum, Farhan Upayakan Relokasi ke TOD BRT Paling Ramai
Bandung
Forum Kiai NU Jawa Desak Pembentukan Panitia MLB, Nama Rhoma Irama Disebut
Forum Kiai NU Jawa Desak Pembentukan Panitia MLB, Nama Rhoma Irama Disebut
Bandung
Pakar Hukum Ingatkan Dedi Mulyadi: Surat Edaran Tidak Bisa Dibuat Seenaknya
Pakar Hukum Ingatkan Dedi Mulyadi: Surat Edaran Tidak Bisa Dibuat Seenaknya
Bandung
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau