Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Petani Rusak Tanaman karena Harga Sayur Anjlok, Dinas Pertanian Kabupaten Bandung Beri Tanggapan

Kompas.com, 21 September 2022, 17:05 WIB
M. Elgana Mubarokah,
Teuku Muhammad Valdy Arief

Tim Redaksi

BANDUNG, KOMPAS.com-Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Bandung Tisna Umaran menanggapi beredarnya video petani merusak sayur siap panen karena kecewa harga anjlok.

Penurunan harga sayur secara signifikan, kata Tisna, diakibatkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah cuaca.

"Kemarin itu kan kemarau basah, jadi produksinya melimpah," kata Tisna saat dihubungi, Rabu (21/9/2022).

Baca juga: Video Viral Petani Sayur Pemalang Mengamuk Babat Tanaman Kubisnya gara-gara Harga Anjlok

Menurutnya, semua sesuai dengan hukum ekonomi, apabila ketersediaan barang yang melebihi kebutuhan akan mempengaruhi harga.

Tidak hanya itu, rantai distribusi yang terlalu panjang membuat harga sayuran di tingkat petani jatuh dibanding harga di tingkat konsumen.

"Kemarin saya mengecek harga bawang. Di pasar harganya masih lumayan tinggi, mencapai Rp 40.000 per kilogram," tambahnya.

Sementara harga bawang di tingkat petani hanya Rp 17.000 per kilogram, sehingga jika dibandingkan dengan harga tingkat konsumen terdapat selisih sampai Rp 23.000 per kilogram.

Baca juga: Video Petani di Bandung Rusak Tanaman Sendiri Viral, Kecewa Harga Sayur Anjlok

Hal ini terjadi karena rantai distribusi yang terlalu panjang.

"Kami sedang mengupayakan untuk menyelesaikan masalah ini," kata dia.

Viral petani babat hasil tanaman sendiri

Aksi pembabatan beberapa jenis sayuran oleh sejumlah petani sempat ramai diperbincangkan di media sosial.

Dalam video yang beredar tampak seorang petani membabat sayuran di sebuah ladang menggunakan sebilah parang.

Dia juga menendang sayuran di ladangnya. Dalam video lain, seorang petani juga membabat bawang daun di sebuah ladang.

Baca juga: BUMN Diminta Beli Kedelai Petani Lokal, Mendag: Saya Usulkan Dana Awal Rp 100 T

Agung Rizky Yudha, pengunggah video tersebut, membenarkan para petani tersebut merasa kecewa dan frustasi.

Sayuran yang mereka tanam berbulan-bulan tersebut mengalami penurunan harga yang signifikan.

"Saya juga petani. Video itu kiriman dari teman. Memang sekarang harga sedang anjlok," katanya dikonfirmasi, Rabu (21/9/2022).

Jenis sayuran yang mengalami anjlok harga di Kecamatan Rancabali yakni pecay, kubis, dan bawang daun.

Ia mengungkapkan harga Pecay saat ini, turun drastis, biasanya harga normal berkisar Rp2.500-Rp3.000 per kilogram, saat ini hanya dibeli seharga Rp 200 per kilogram oleh bandar.

"Itu pun harga pinggir jalan, artinya petani dibebankan dengan biaya upah kuli panggul dan kuli panen," kata dia.

Baca juga: Kartu Petani Berjaya, Cara Gubernur Arinal Tingkatkan Produktivitas Petani Lampung

Meski tak semua petani Pecay merusak hasil tanamannya, banyak juga para petani yang membiarkan tanamannya di kebun dan mempersilahkan warga atau pedagang untuk mengambilnya secara cuma-cuma.

"Nah kalau harga Rp 200 mah lebih baik dibiarkan saja di kebun, ada yang bilang sayang lebih baik dikasihkan kepada masyarakat, yah silakan saja ambil kalau mau mah," ujarnya.

Khusus untuk harga bawang daun, kata dia, sebetulnya sudah sedikit membaik. Saat ini harga mencapai Rp 2.000 per kilogram.

Sebelumnya, harga bawang daun hanya mencapai Rp 500 per kilogram. Harga tersebut, sama dengan upah pikul dari kebun ke pinggir jalan.

Saat itu, lanjut dia, para petani bawang daun pun mengalami kekecewaan akibat anjloknya harga.

"Ya sama saja, sekarang memang membaik tapi kemarin sama. Sekarang lagi berupaya agar kondisi ini tetap terjaga, tapi harga sayur yang lain kan masih tanda tanya," ungkapnya.

Baca juga: Airlangga Ungkap Alasan Petani Lokal Enggan Tanam Kedelai

Jenis sayuran lainnya yang juga tak kalah anjlok harganya, sambung dia yakni kol. Harga kol saat ini hanya berkisar Rp 800 per kilogram. Sedangkan, harga pikul Rp 300. 

"tentu saja harga ini sangat memukul usaha pertanian sayuran yang ada di kawasan Pasirjambu, Ciwidey dan Rancabali (Pacira) dan di daerah lainnya di Kabupaten Bandung," tambahnya.

Tak hanya itu, penderitaan para petani juga  datang dari biaya pupuk, pengadaan obat-obatan sampai upah para pekerja yang juga mulai merangsak naik.

Tak aneh, karena keadaan tersebut, kata Agung, para petani di Pacira lebih memilih membiarkan hasil tanamannya di kebun tanpa memanennya.

"Harga saat panen murah, sedangkan harga pupuk dan obat-obatan terus naik. Diantaranya pupuk NPK yang biasanya Rp 14 ribu hingga Rp 15 ribu perkilogram nah sekarang sudah Rp 20 ribu. Begitu juga dengan jenis pupuk dan lainnya terus naik. Kalau harga jual sayuran bagus mah walaupun harga pupuk dan obat-obatan ini naik, kami tetap masih bisa untung. Tapi ini mah kan harga jualnya rusak parah," kata Agung.

Jika harus menjual sayuran yang ditanamnya, petani dipastikan akan merugi karena harga yang merosot. Padahal, petani sudah menghabiskan modal besar seperti untuk kebutuhan pupuk dan biaya lainnya.

Baca juga: Manfaatkan Teknologi Pertanian, Begini Cara Petani Muda Semarang Kembangkan Melon Hidroponik

Kondisi seperti ini, lanjut Agung sudah berlangsung sejak sebulan terakhir.

Bahkan, ratusan hektar pertanian holtikultura dan stroberi milik masyarakat Kecamatan Rancabali Kabupaten Bandung yang siap panen dibiarkan membusuk atau bahkan dirusak sendiri oleh para petaninya.

"Kalau luas lahan pertanian bisa lebih dari 100 hektar yang ditanami holtikultura dan stroberi. Bisa dipastikan semuanya mengalami kerugian. Saya saja mengolah lahan 3 hektar. Rugi sekitar Rp 100 juta, dan kalau ditambah sama kerugian saya sebelumnya itu ada sekitar Rp 500 juta," tuturnya.

Ia berharap situasi ini segera ditangani oleh pemerintah daerah (Pemda) Kabupaten Bandung.

Pasalnya, jika terus dibiarkan, ia khawatir para petani berhenti beraktivitas, otomatis stok sayuran di Jawa Barat bisa menipis.

Bukan hanya itu, Agung juga menyoroti nasib para petani yang hidup di ambang ketidakpastian.

Baca juga: Jabar Siapkan Rp 27 Miliar untuk Bantu Nelayan, Petani, dan UKM

Tidak adanya jaminan harga pasti, kata Agung, membuat harga berbagai komoditas holtikultura ini dengan mudah dipermainkan pasar. 

"Kalau kami para petani sudah tak mau lagi berkebun. Nanti kebutuhan sayur mayur dan hasil pertanian lainnya untuk orang kota mau dari mana. Sudah seharusnya pemerintah turun tangan membantu kesulitan kami. Carikan kami jalan keluarnya" katanya.

Pihaknya sengaja mengunggah video tersebut ke sosial media agar terbangunnya perhatian dari pemerintah terkait hal ini.

"Karena saya ini juga sesama petani yang punya perasaan sama, ya sudah saya unggah kedua video itu ke salah satu grup facebook yang banyak diikuti oleh masyarakat Kabupaten Bandung. Harapannya sih bisa dilihat dan didengar oleh pemerintah keluhan kami ini," pungkas dia.

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang



Terkini Lainnya
Pakar ITB Ingatkan Pemerintah Lakukan Pemodelan Banjir yang Akurat Sebelum Relokasi Warga
Pakar ITB Ingatkan Pemerintah Lakukan Pemodelan Banjir yang Akurat Sebelum Relokasi Warga
Bandung
Ratusan Siswa di Bogor Sumbang Uang, Mukena, hingga Lilin bagi Korban Bencana Aceh dan Sumatera
Ratusan Siswa di Bogor Sumbang Uang, Mukena, hingga Lilin bagi Korban Bencana Aceh dan Sumatera
Bandung
Kepsek SD Tasikmalaya Diduga Cabuli 5 Remaja Putri Dalam Kamar Hotel di Pangandaran
Kepsek SD Tasikmalaya Diduga Cabuli 5 Remaja Putri Dalam Kamar Hotel di Pangandaran
Bandung
Polisi Tangkap Oknum Kades di Jatinangor karena Sabu, Jalani Rehab di Lido 6 Bulan
Polisi Tangkap Oknum Kades di Jatinangor karena Sabu, Jalani Rehab di Lido 6 Bulan
Bandung
Menko AHY Tinjau Langsung Pembangunan Flyover Nurtanio Bandung
Menko AHY Tinjau Langsung Pembangunan Flyover Nurtanio Bandung
Bandung
Dedi Mulyadi Pulangkan 47 Warga, 25 Lainnya Masih Terjebak di Takengon Aceh
Dedi Mulyadi Pulangkan 47 Warga, 25 Lainnya Masih Terjebak di Takengon Aceh
Bandung
Puluhan Pengajuan Izin Perumahan di Cimahi Disetop, Pemkot Tunggu Kajian Lingkungan
Puluhan Pengajuan Izin Perumahan di Cimahi Disetop, Pemkot Tunggu Kajian Lingkungan
Bandung
Ujaran Kebencian Streamer Viral, Polda Jabar Tetap Proses meski Pelaku Sudah Minta Maaf
Ujaran Kebencian Streamer Viral, Polda Jabar Tetap Proses meski Pelaku Sudah Minta Maaf
Bandung
Libur Natal dan Tahun Baru, Jalur Puncak Bogor Pakai Skema Buka-Tutup
Libur Natal dan Tahun Baru, Jalur Puncak Bogor Pakai Skema Buka-Tutup
Bandung
REI Jabar soal SE Dedi Mulyadi Moratorium Izin Perumahan: Mohon Dikaji Ulang...
REI Jabar soal SE Dedi Mulyadi Moratorium Izin Perumahan: Mohon Dikaji Ulang...
Bandung
Relokasi Korban Longsor Arjasari, Bupati Bandung Biayai Sewa Kontrakan 3 Bulan
Relokasi Korban Longsor Arjasari, Bupati Bandung Biayai Sewa Kontrakan 3 Bulan
Bandung
Wagub Jabar Desak Polisi Tangkap Streamer Pelaku Dugaan Ujaran Kebencian
Wagub Jabar Desak Polisi Tangkap Streamer Pelaku Dugaan Ujaran Kebencian
Bandung
Dugaan Ujaran Kebencian oleh Streamer, Polda Jabar: Kami Sudah Profiling Akun Pelaku
Dugaan Ujaran Kebencian oleh Streamer, Polda Jabar: Kami Sudah Profiling Akun Pelaku
Bandung
Pakan Satwa Bandung Zoo Menipis, Karyawan Galang Donasi di Pinggir Jalan
Pakan Satwa Bandung Zoo Menipis, Karyawan Galang Donasi di Pinggir Jalan
Bandung
Terminal Cicaheum Akan Jadi Depo BRT, Pemkot Bandung Desak Kemenhub Sosialisasi
Terminal Cicaheum Akan Jadi Depo BRT, Pemkot Bandung Desak Kemenhub Sosialisasi
Bandung
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau