Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Petani di Kabupaten Bandung, dari Lahan Menyempit hingga Langkanya Pupuk

Kompas.com - 19/10/2022, 17:35 WIB
M. Elgana Mubarokah,
Reni Susanti

Tim Redaksi

 

BANDUNG, KOMPAS.com - Mendung menggelayut diiringi genangan air sisa hujan semalam membuat sawah karut-marut. Meski demikian, para petani perempuan di Desa Tegalluar, Kecamatan Bojongsoang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, masih terus memanen padi.

Siang itu, tak ada senyum di wajah mereka. Seolah terbawa angin entah kemana. Padahal padi yang ditanamnya sudah menguning dan siap dipanen.

Masing-masing dari mereka fokus untuk menyelesaikan tugasnya. Sebagian memotong ujung padi dengan celurit, sebagian lagi memanen dengan alat yang sama.

Baca juga: Petani di Semarang Mengeluh, 99 Persen Gagal Panen karena Serangan Hama Saat Musim Hujan

Tak ada satu petak sawah pun yang dilewati, berjam-jam menunduk tak membuat mereka menyerah, bak Komando Pasukan Gerak Cepat (Kopasgat) milik TNI AU, para petani perempuan itu bergerak cepat.

Eti Kusaeti (46) salah seorang petani setempat mengatakan, panen kali ini tak segemilang tahun-tahun sebelumnya. Banyak hal yang membuat petani setempat pesimis akan panen bulan ini.

Mulai dari kelangkaan pupuk subsidi hingga cuaca ekstrem dan hama yang datang tiba-tiba kemudian mengacaukan setiap mimpi dan harapan yang sudah ditanam.

"Gimana lagi situasinya gini sekarang mah serba susah, ini juga panen menyelamatkan yang masih bisa diselamatkan saja," katanya di temui, Rabu (19/10/2022).

Belum lagi persoalan menyempitnya lahan yang kalah dengan pembangunan pabrik dan perumahan, menambah kuat para petani untuk berhenti meladang.

Baca juga: Petani di Lampung Dibegal Sepulang Jual Tanah, Uang Rp 70 Juta Raib

Eti mengungkapkan, dari 10 petak sawah yang dia kerjakan, hanya 4 petak yang berhasil di panen bulan ini.

Satu petak sawah berukuran 25x40 meter itu menghasilkan 30 karung goni berisi gabah.

"Dulu kita bisa dapet 30 karung goni, sekarang kalau dikalikan 35 kilogram satu karungnya, sudah pasti dapet satu ton tuh, keuntungan bisa sampai Rp 9 jutaan," jelasnya.

Namun sayang, angka panen yang fantastis tersebut sudah setahun seperti membangun jarak dengan petani.

Cuaca Ekstrem

Salah satu faktor merosotnya jumlah panen padi karena cuaca ekstrem yang melanda Kabupaten Bandung dan sekitarnya beberapa waktu ini.

Hujan dengan intensitas tinggi, kerap membuat jalan-jalan di Tegalluar kebanjiran, akibat meluapnya anak Sungai Citarum yang melintas di wilayah tersebut.

Tak aneh, jika luapan itu juga melanda ladang sawah yang ada di Tegalluar. Banjir ini jelas merusak padi-padi yang siap panen.

"Ya gimana lagi, banjir, airnya masuk ke ladang dan sebagian ada yang rusak, kita selamatkan yang masih bagus aja," ungkapnya.

Akibat banjir yang kerap melanda, kini satu petak sawah hanya bisa menghasilkan 17 karung goni atau sekitar Rp 5 juta.

Dengan jumlah itu, Eti hanya bisa membiayai biaya produksi perawatan saja, tanpa membawa keuntungan lebih ke rumah. Kondisi itu tidak sebanding dengan kebutuhan hidup yang semakin melejit.

Melihat ini, Eti hanya bisa pasrah. Bagaimana pun ia dan petani lainnya mesti tetap memanen padi agar bisa bernapas menjalani hari-hari.

Sejauh ini, belum ada solusi konkret terkait persoalan yang melanda para petani ketika hujan melanda.

"Kita hanya bisa mengecek sawah di petak mana yang tidak terdampak, berarti yang di situ yang bisa menghasilkan," tambahnya.

Gangguan Irigasi

Melemahnya produktivitas petani tak hanya disebabkan cuaca ekstrem, namun juga belum diperbaikinya saluran irigasi. 

Sejauh ini saluran irigasi untuk meningkatkan produktivitas petani masih terhambat. Beberapa di antaranya sudah tertutupi benteng-benteng pabrik dan perumahan.

Eti mengatakan, saluran irigasi penting bagi pertumbuhan petani. Pasalnya aliran air bersih yang cukup akan menjamin kualitas padi yang baik pula.

"Jumlah panen kita pasti meningkat, kalau ada pembaruan jalur irigasi buat sawah, karena itu pentingkan," terang dia.

Ia masih mengingat betul, saat pemerintah Desa Tegalluar membangun saluran irigasi untuk petani beberapa tahun silam. Saat itu, jumlah produksi langsung naik drastis.

"Ya kita bisa membawa untung yang cukup dan biaya perawatan juga tertutupi, tadi yang saya jelaskan itu jumlahnya sama dengan waktu pembangunan saluran irigasi ditambah dan diperbaharui," bebernya.

Penyempitan Lahan

Eti dan petani lainnya juga digalaukan dengan lahan pertanian yang kian lama kian menyusut.

Ia mengingat betul, tahun 2003, lahan sawah di wilayahnya lebih dari 2.000 hektar.

"Sekarang dapet ngitung lagi pihak Desa, katanya sekarang tinggal 725 hektar, itu katanya dari 2003 ke 2017," tutur Eti.

Menyusutnya lahan pertanian, tak terlepas dari lajur pembangunan yang kian kencang.

Mulai dari kawasan pemukiman baru, industri, hingga proyek strategis Nasional seperti Gelora Bandung Lautan Api (GBLA), jalan tol, dan sekarang Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB).

"Tahu sendiri, kemarin katanya ada Presiden ke sana ke kereta, itu juga menghambat pertumbuhan kita para petani, belum lagi hal-hal yang lainnya," ungkap dia.

Ia dan yang lainnya hanya bisa pasrah ketika mendengar adanya pembangunan baru yang berdekatan dengan ladang sawah.

Saat ini, hanya tinggal menghitung jari, petani yang memiliki lahan sendiri. Eti menjelaskan, rata-rata lahan yang dimiliki petani dijual karena produktivitas petani mulai menurun.

"Pada dijual akhirnya, gimana lagi mungkin keputusan yang berat tapi mau gak mau harus tetep bertahan, jadi sekarang mah tinggal sedikit," kata Eti.

Langkanya Pupuk Subsidi

Derita Eti tak berhenti, di perjalanan ia juga harus menerima pil pahit bahwa pupuk yang selama ini menjadi bahan penting pertanian terus naik harga. 

Sejumlah petani, sambung Eti, terpaksa harus membeli dengan harga cukup mahal untuk mendapatkan pupuk bersubsidi.

Tak jarang, para petani baik di wilayahnya atau wilayah lain kelimpungan mendapatkan pupuk bersubsidi untuk memupuk tanaman padi miliknya.

Pupuk bersubsidi di kios desanya banyak yang kosong. Bahkan hal itu juga terjadi hingga di luar desanya.

"Saat ini pupuk subsidi sulit, saya juga sudah cari ke mana-mana di kios-kios yang ada di luar desa, tapi tidak ada stok, kalau pun ada harganya mahal," ungkapnya.

Menurutnya, pada musim tanam saat ini lahan garapannya membutuhkan lima paket pupuk bersubsidi yang terdiri dari Urea, NPK, Phonska dan Organik.

Namun, sulitnya mendapatkan pupuk bersubsidi saat ini mengharuskannya membeli pupuk dengan harga cukup mahal.

"Kalau yang bersubsidi harganya satu paket Rp 260.000, tapi kalau tidak ada dan saya butuh gini, harga Rp 400.000, per paket tetap saya beli," ungkapnya.

Sulitnya mendapatkan pupuk bersubsidi saat ini ibarat mencari jarum di dalam tumpukan jerami yang membuat para petani lelah.

"Sampai sekarang masih belum dapet padahal bentar lagi harus memulai, karena belum dapat pupuk bersubsidi," jelasnya.

Setiap persoalan yang menghadang seperti harus terjawab di pundak Eti dan para petani lainnya.

Jawaban atas bangkitnya sektor pertanian seperti tak pernah ditemukan. Entah sampai kapan Eti dan yang lainnya mampu bertahan terutama mempertahankan ladang miliknya.

"Mudah-mudahan beberapa tahun ke depan masih bisa menanam dan meladang lagi, sejauh ini saya hidup mengandalkan ini," pungkasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Bupati Karawang Ungkap Komitmen soal Jaga Iklim Investasi dan Buruh

Bupati Karawang Ungkap Komitmen soal Jaga Iklim Investasi dan Buruh

Bandung
Fakta dan Kronologi Pendaki Asal Bandung Meninggal di Gunung Ciremai

Fakta dan Kronologi Pendaki Asal Bandung Meninggal di Gunung Ciremai

Bandung
Prakiraan Cuaca Bogor Hari Ini Kamis 2 Mei 2024, dan Besok : Siang ini Hujan Petir

Prakiraan Cuaca Bogor Hari Ini Kamis 2 Mei 2024, dan Besok : Siang ini Hujan Petir

Bandung
Prakiraan Cuaca Bandung Hari Ini Kamis 2 Mei 2024, dan Besok : Siang ini Hujan Sedang

Prakiraan Cuaca Bandung Hari Ini Kamis 2 Mei 2024, dan Besok : Siang ini Hujan Sedang

Bandung
Tagana Tasikmalaya Siagakan Tenda di Daerah Terdampak Gempa Garut

Tagana Tasikmalaya Siagakan Tenda di Daerah Terdampak Gempa Garut

Bandung
Revitalisasi Jembatan II Cikarang, Apresiasi Pemprov Jabar bagi Pekerja

Revitalisasi Jembatan II Cikarang, Apresiasi Pemprov Jabar bagi Pekerja

Bandung
Kirim Pesan Cabul ke Orang Dikenal lewat 'Game Online', Pria asal Sumut Ditangkap

Kirim Pesan Cabul ke Orang Dikenal lewat "Game Online", Pria asal Sumut Ditangkap

Bandung
Pria di Bogor Berulang Kali Cabuli Anak Tiri selama 3 Tahun

Pria di Bogor Berulang Kali Cabuli Anak Tiri selama 3 Tahun

Bandung
Kanwil Kemenkumham Jabar Bakal Gandeng Kades untuk Awasi WNA

Kanwil Kemenkumham Jabar Bakal Gandeng Kades untuk Awasi WNA

Bandung
Dukung Dedi Mulyadi Jadi Gubernur Jabar, Buruh Pro KDM: Tidak Ada Lagi yang Cocok

Dukung Dedi Mulyadi Jadi Gubernur Jabar, Buruh Pro KDM: Tidak Ada Lagi yang Cocok

Bandung
Gempa M 4,2 Kabupaten Bandung, Kapolsek Pangalengan: Terasa tapi Tak Sebesar Gempa Garut

Gempa M 4,2 Kabupaten Bandung, Kapolsek Pangalengan: Terasa tapi Tak Sebesar Gempa Garut

Bandung
Detik-detik Pendaki Asal Bandung Meninggal Dunia di Gunung Ciremai, Diduga Kelelahan

Detik-detik Pendaki Asal Bandung Meninggal Dunia di Gunung Ciremai, Diduga Kelelahan

Bandung
Gempa M 4,2 Guncang Kabupaten Bandung, Tak Berisiko Tsunami

Gempa M 4,2 Guncang Kabupaten Bandung, Tak Berisiko Tsunami

Bandung
Mobil Terguling di Majalengka, Sopir: Saya Ngantuk karena Bergadang Nonton Timnas Indonesia

Mobil Terguling di Majalengka, Sopir: Saya Ngantuk karena Bergadang Nonton Timnas Indonesia

Bandung
Cerita Anak-anak Muda dengan Mental Disabilitas Memupuk Impian

Cerita Anak-anak Muda dengan Mental Disabilitas Memupuk Impian

Bandung
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com