Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perjalanan dan Mimpi Tan Deseng, Sang Maestro Karawitan Sunda...

Kompas.com - 07/11/2022, 08:54 WIB
Reni Susanti

Penulis

BANDUNG, KOMPAS.com - Maestro karawitan Sunda, Tan Deseng, meninggal dunia karena sakit yang dideritanya Minggu (6/11/2022) pukul 13.30 WIB.

Selama hidup, Tan Deseng banyak mengabdikan kehidupannya untuk perkembangan seni sunda. Ia juga memiliki segudang mimpi, terutama dalam penyelamatan artefak budaya sunda.

Kepada Kompas.com di kediamannya di Taman Holis Bandung beberapa waktu lalu, Tan Deseng menceritakan tentang perjalanan dan impiannya terhadap seni sunda.

Baca juga: Digitalisasi Pita Rekaman Musik Karawitan Tan Deseng, Upaya Selamatkan Aset Budaya Sunda

Masa Kecil Tan Deseng

Tan Deseng lahir di Tamim (sekitar Pasar Baru Bandung), 22 Agustus 1942. Sang ayah, Tan Tjing Hong merupakan pengusaha, shinse, dan seniman lukis yang bisa memainkan sejumlah instrumen musik.

Dari 8 anaknya, Tan Deseng dan kakaknya, Tan De Tjeng yang tertarik pada dunia seni.

Sejak kecil, ia diperkenalkan dengan budaya barat, tak heran jika ia mampu bermain gitar dengan sangat lihai.

Baca juga: Kisah Tan Deseng Si Maestro Musik Sunda: Walau Dapat Penghargaan 2 Presiden, Hidupnya Berpindah-pindah Tak Punya Rumah (1)

Hingga suatu hari, temannya yang bernama Cucun bermain kecapi. Mendengar Cucun bermain kecapi, Tan Deseng kerap tertegun dan tertarik. Mereka lantas bertukar kemampuan.

Tan Deseng mempelajari kecapi, temannya belajar gitar. Di usia ke-12, ia mulai serius mendalami musik Sunda.

Bahkan saat ia berusia 16 tahun di Palembang ia menitikkan air mata begitu mendengar lagu-lagu sunda di RRI (Radio Republik Indonesia).

Belajar dari Para Meastro

Ia kemudian belajar seni dari para budayawan dan seniman Sunda. Misal waditra (instrumen) musik sunda dari Adjat Sudrajat atau Mang Atun. Belajar kecapi dan suling dari Evar Sobari, Mang Ono, Sutarya, dan dalang Abah Sunarya (ayah dari dalang kenamaan Asep Sunandar Sunarya).

"Dadanguan, tingalian, letah abdi sunda. Soalna abdi mah urang sunda, jalmi nu aya di sunda, mung kaleresan kolot abdi China, (pendengaran, penglihatan, lidah saya Sunda. Saya orang Sunda, orang yang ada di Sunda, cuma kebetulan orangtua saya China," ujar Tan Deseng.

Kemampuannya terus bertambah. Hingga suatu hari ia terpikirkan untuk mendokumentasikan aset-aset penting budaya sunda melalui rekaman pita hitam.

Baca juga: 10 Lagu Daerah Jawa Barat Beserta Lirik dan Maknanya

Dengan dana pas-pasan dan bantuan dari sesama seniman, Tan Deseng merekam hal-hal yang kini dianggap "harta karun".

Salah satunya, rekaman dalang Abah Sunarya (ayah dalang Asep Sunandar Sunarya). Tan Deseng lah orang pertama yang merekam pagelaran dalang Abah Sunarya.

Kemudian pesinden kondang Titim Fatimah. Lalu ada Euis Komariah, Tati Saleh dan lainnya.

Ia pula yang memperkenalkan 'ketuk tilu' yang menjadi dasar jaipong melalui pita rekamannya yang digarap bersama pemusik-pemusik rakyat dari Karawang.

Rekaman yang kini menjadi artefak budaya tersebut dilakoninya sejak tahun 1950-an.

Penghargaan dari Presiden

Kecintaan dan upaya Tan Deseng melestarikan budaya Sunda berbuah penghargaan dari berbagai pihak. Seperti wali kota Bandung, gubernur Jabar, dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata.

Lulusan SMP Tsing Hoa ini pun menerima penghargaan dari Presiden Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono. Ia mendapat Anugrah Maestro Seni Budaya Sunda.

Mimpi Tan Deseng

Sebelum meninggal, Tan Deseng dan timnya sedang getol menyelamatkan artefak budaya sunda berupa data audio hasil perekaman seni musik atau karawitan milik Tan Deseng.

Dari 425 pita rekaman yang dimilikinya hanya 80 persennya yang diperkirakan bisa diproses lebih lanjut.

Pita-pita tersebut merupakan hasil rekaman tahun 1950an-1970an. Ada banyak pita langka, di antaranya Tarawangsa Buhun, Angklung Kabuyutan, Calung Baduy, Kiser Cirebonan, Celempungan, Karinding Buhun, dan lainnya.

Ada juga pita yang namanya familiar di telinga orang Sunda. Seperti pita wayang golek Abah Sunarya, Aming Wiganda, Dede Aming Sutarya, hingga Ade Kosasih.

Untuk upaya revitalisasi dan penyelamatan aset budaya sunda ini, Tan Deseng mengalami kesulitan pembiayaan, terutama saat pandemi melanda.

Sebab dia tidak hanya menghidupi dirinya sendiri, melainkan seniman lainnya. Ketika ada seniman sunda yang tidak makan, ia akan menjual kecapi atau apapun barang yang dimilikinya untui makan.

Peneliti dari Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya (UMTAS), Asep Wasta mengatakan, dalam terminologi kesenian nusantara dikenal folklore atau bertutur. Seni berkembang dari cerita pelatihnya. Berbeda dengan barat yang memiliki partiture atau tulisan.

"Apa yang dilakukan Tan Deseng (lewat rekaman pita) juga membuatnya partiture. Itu merupakan artefak budaya sunda," imbuh Wasta.

Alami "Bully" sebagai Orang "China"

Apa yang dicapai Tan Deseng tidaklah mudah. Asep Wasta mengatakan, sebagai orang Tionghoa, ia mendapatkan banyak diskriminasi.

Sejak kecil ia kerap di-bully "kamu anak China". Saat itu, yang membela adalah pembantunya, orang Sunda.

Dalam diri Tan Deseng kecil ia sempat bertanya-tanya kenapa yang membela bukan orangtuanya.

Di usia dewasa, ia pun pernah dicibir. Terutama saat ia merekam pertunjukan wayang Abah Sunarya dalam bentuk pita.

Orang-orang meragukan langkah Tan Deseng karena wayang itu kesenian visual. Apa mungkin bisa didengarkan secara audio saja.

Namun rupanya, langkah Tan Deseng booming. Itulah mengapa ia bisa disebut sebagai pionir. Ia pun menjadi lebih terkenal. Namun tetap saja ada tanggapan berbeda terhadap Tan Deseng.

Ada yang beranggapan: "Sejago apapun musik Sunda, China tetaplah China".

Namun ada pula anggapan: "China saja jago seperti itu, kenapa kita tidak bisa."

"Banyak yang menarik dari Tan Deseng. Termasuk kemampuannya dalam seni tradisional dan modern," ungkap dia.

Mengenai diskriminasi, Tan Deseng mengatakan, baik orang Sunda ataupun orang China ada yang baik dan buruk. Yang penting, tidak balas menyakiti ketika disakiti.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com