Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Upacara Adat Nyangku di Panjalu: Sejarah, Tujuan, dan Pelaksanaan

Kompas.com - 28/11/2022, 18:11 WIB
Puspasari Setyaningrum

Editor

KOMPAS.com - Masyarakat mengenal upacara adat Nyangku sebagai sebuah bentuk warisan budaya tak benda di tingkat nasional dari Kabupaten Ciamis.

Upacara adat Nyangku adalah rangkaian prosesi adat penyucian benda-benda pusaka peninggalan Prabu Sanghyang Borosngora dan Para Raja serta Bupati Panjalu di Kecamatan Panjalu, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat.

Baca juga: Mengenal Banten, Sesajen yang Menjadi Upakara dalam Upacara Adat Bali

Benda-benda pusaka tersebut antara lain Pedang Zulfikar, Cis, Keris Komando, Keris, Pancaworo, Bangreng, Goong kecil, Kujang, Trisula dan beberapa pusaka lain yang tersimpan di Pasucian “Bumi Alit”.

Pelaksanaan upacara adat ini bukanlah hal yang baru karena tradisi ini telah ada sejak zaman Kerajaan Panjalu.

Baca juga: 6 Upacara Adat Jawa Barat: Tujuan dan Cara Pelaksanaan

Upacara adat Nyangku masih digelar tiap tahun di hari Senin atau hari Kamis terakhir Bulan Maulud (Rabiul Awal) sebagai bentuk penghormatan pada leluhur atau Raja Panjalu.

Baca juga: Tedak Siten, Upacara Adat Jawa Tengah, Tujuan, Latar Belakang, dan Prosesi

Sejarah upacara adat Nyangku

Nama tradisi ini berasal dari kata dalam bahasa Arab yaitu “yanko“ yang artinya membersihkan, yang kemudian dilafalkan oleh masyarakat Sunda sebagai “nyangku”.

Dalam bahasa Sunda, Nyangku adalah singkatan dari “nyaangan laku” yang artinya menerangi perilaku.

Tradisi Nyangku konon telah dilaksanakan sejak zaman pemerintahan Prabu Sanghyang Borosngora.

Semasa memerintah, Prabu Sanghyang Borosngora menjadikan prosesi adat Nyangku sebagai salah satu media syiar agama Islam bagi rakyat di Kerajaan Panjalu dan sekitarnya.

Selanjutnya Nyangku menjadi adat istiadat dan kebudayaan yang khas dari Panjalu yang tetap dilestarikan hingga saat ini.

Tujuan upacara adat Nyangku

Maksud dari upacara adat Nyangku adalah untuk mengenang jasa Prabu Sanghyang Borosngora yang telah menyampaikan ajaran Islam kepada rakyat dan keturunannya.

Masyarakat Panjalu percaya bahwa di samping melestarikan tradisi warisan leluhur, di balik upacara adat tersebut terdapat nilai-nilai yang baik bagi kehidupan mereka.

Dengan membersihkan benda pusaka tersebut, dianggap sebagai penghormatan terhadap leluhur Panjalu yang telah menyebarkan agama Islam sekaligus sebagai simbol membersihkan diri.

Lebih lanjut, pelaksanaan upacara adat Nyangku menjadi waktu untuk berpikir dan mengevaluasi diri dengan cara mengkritisi diri sendiri, dan mengakui perbuatan-perbuatan yang tidak sesuai dengan norma adat dan norma agama,

Selain itu, upacara adat Nyangku menjadi salah satu upaya agar keturunan Panjalu dapat menjadi manusia yang lebih baik lagi.

Pelaksanaan upacara adat Nyangku

Penyelenggaraan Upacara Adat Nyangku saat ini dilaksanakan oleh Yayasan Borosngora yang didukung oleh sesepuh Panjalu, Pemerintah Desa Panjalu, para tokoh masyarakat, juru kunci makam keramat, keturunan Raja Panjalu dan pihak terkait lainnya.

Sebelum dimulai, dilakukan pengambilan air suci untuk membersihkan benda-benda pusaka yang berasal dari tujuh sumber mata air.

Sumber mata air tersebut antara lain Sumber Air Situ Lengkong, Sumber Air Karantenan Gunung Syawal, Sumber Air Kapunduhan (Makam Prabu Rahyang Kuning), Sumber Air Cipanjalu, Sumber Air Kubang Kelong, Sumber Air Pasanggrahan, Sumber Air Bongbang Kancana, Sumber Air Gunung Bitung, dan Sumber Air Ciomas.

Air yang telah diambil akan disimpan di dalam tempat khusus dan ditawasul (diberi doa) oleh para santri selama 40 hari hingga hari pelaksanaan upacara adat Nyangku.

Baru kemudian dilaksanakan prosesi penyerahan tirta kahuripan dari sesepuh adat pengambil air kepada Ketua Yayasan Borosngora sebagai penanggung jawab pelaksanaan Upacara Adat Nyangku.

Selain itu disiapkan pula tujuh macam sesaji yang didampingi oleh tujuh macam minuman.

Di malam sebelum upacara adat Nyangku, dilakukan pengajian dan pembacaan Sholawat Nabi di Pasucian “Bumi Alit” yang biasanya diramaikan dengan tradisi Gembyung dan Debus.

Pada hari perayaan, benda-benda pusaka yang tersimpan di Pasucian “Bumi Alit” dikirab menuju ke Pulau Nusa Gede yang berada di tengah danau yang bernama Situ Lengkong.

Benda-benda pusaka utama dibawa dengan cara digendong seperti menggendong bayi oleh keturunan Raja Panjalu yang ditunjuk oleh Putra Mahkota Raja Panjalu yang menjabat sebagai Ketua Yayasan Borosngora.

Perjalanan kirab tersebut juga diiringi dengan irama gembyung (rebana) dan pembacaan sholawat Nabi.

Sampai di Pulau Nusa Gede benda-benda pusaka satu persatu mulai dibuka dari kain putih pembungkusnya, untuk selanjutnya dibersihkan dengan air dan jeruk nipis yang telah disiapkan.

Pembersihan benda-benda pusaka dimulai dengan pedang pusaka Prabu Sanghyang Borosngora dan dilanjutkan dengan pusaka-pusaka lainnya hingga selesai.

Setelah benda-benda pusaka itu dibersihkan, kemudian diolesi dengan minyak kelapa yang dibuat khusus untuk keperluan upacara adat Nyangku.

Setelah itu barulah benda-benda pusaka ini kembali dibungkus dengan lilitan janur dan tujuh lapis kain putih, untuk kemudian diikat dengan memakai tali dari benang boeh.

Benda-benda pusaka yang telah dibungkus kemudian dikeringkan dengan asap kemenyan.

Setelah semua prosesi selesai,benda-benda pusaka tersebut kembali diarak untuk di simpan kembali di di Pasucian “Bumi Alit”.

Sumber:
disbudpora.ciamiskab.go.id 
kebudayaan.kemdikbud.go.id 
jabar.antaranews.com 
bobo.grid.id 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com