BANDUNG, KOMPAS. com- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat tingkat indeks inklusi keuangan pada 2022 di Jawa Barat mencapai 88 persen.
Artinya, mayoritas masyarakat Jawa Barat sudah mengakses kredit secara online maupun offline.
Jumlah tersebut tidak sebanding dengan indeks literasi keuangan di Jawa Barat terkait kredit dan pinjaman finansial meski sudah ada peningkatan dari 37,43 persen pada 2019 menjadi 56,10 persen pada 2022.
Baca juga: Demi Hindari Tagihan Kredit, Warga Jambi Mengaku Dibegal di Sumsel
Ketimpangan tersebut, menurut OJK, dapat diartikan banyak masyarakat yang sudah bisa mengakses keuangan dari perusahaan pembiayaan, tapi belum seluruhnya paham risiko, hak, kewajiban, hingga apa yang harus dihindari agar terhindar dari kredit macet.
Kepala Bagian Edukasi dan Perlindungan Konsumen Kanreg 2 OJK Jawa Barat Teguh Dinurahayu mengatakan, untuk kredit misalnya, masih banyak konsumen tidak paham secara detil cara agar aman dalam hal keuangan ketika mengambil barang dengan cara kredit.
"Ketika ingin mengambil kredit ini ada ilmunya, (cicilannya) tidak boleh lebih dari 30 persen pemasukan (rutin). Kalau lebih dari itu bisa jadi akan susah bayar," kata teguh dalam sebuah diskusi bersama Home Credit di Hotel Moxy ,Jalan Ir H Juanda, Kota Bandung, Jawa Barat, Selasa (27/6/2023).
Teguh menambahkan, tips agar terhindar dari kredit macet adalah dengan membeli barang yang sesuai kebutuhan dan menunjang produktivitas alias bukan barang konsumtif.
"Contohnya, ketika butuh sepeda motor untuk kerja maka bisa dibeli secara kredit agar konsumen bisa bekerja dan mendapatkan pemasukan. Uang dari pemasukan itu lantas bisa dibayarkan pada kredit sepeda motor tersebut, " bebernya.
Baca juga: Korban Penipuan Modus Like-Subscribe Youtube Sampai Pinjam Uang ke Pinjol untuk Deposit
Sementara ketika melakukan kredit yang konsumtif, pembeli harus memperhatikan secara teliti pemasukan rutin yang diterima bisa membayar cicilan barang tersebut.
"Kalau produktif itu kan ada penambahan penghasilanya buat konsumen," ucapnya.
Konsumen, lanjutnya Teguh, wajib menghitung apakah kredit yang diambil bisa dibayar atau tidak sesuai kemampuan.
Jangan sampai ketika barang sudah diambil mereka tidak bisa menyelesaikan pembayaran tersebut.
Pembayaran yang tertunda bisa berdampak pada nilai SLIK (sistem layanan informasi keuangan) yang ada di OJK.
"Kalau sudah sliknya jelek ini sulit dihapus dan butuh beberapa lama untuk menghapus cacatan kredit jelek sampai benar benar lunas," bebernya.
Baca juga: Terjerat Pinjol karena Judi Slot, Pekerja IKN Tewas Bunuh Diri
Jika memang harus membeli barang debgan kredit atau melakukan pinjaman, sambung Teguh, untuk saat ini diharapkan bisa mempunyai tabungan atau dana darurat lebih dulu sekitar 10-20 persen dari penghasilan.
Setelah itu baru dana yang ada bisa disalurkan pada pembelian dengan kredit.
Teguh menyebut, selama ini masih banyak konsumen yang memaksakan diri.
Pemasukan rutin kecil tapi mengambil kredit dengan pembayaran lebih dari 30 persen uang yang dihasilkan setiap bulannya.
Baca juga: Ingin Hapus Database di Pinjol, Pria di Malang Malah Kena Tipu hingga Rp 10 Juta
Untuk menutup utang tersebut, dia kemudian mencari pinjaman dari pihak lain alias gali lubang tutup lubang.
"Ini harus dihindari. Kami sangat mengimbau kalau memang ada kredit bisa segera lunasi apabila sudah jatuh tempo untuk menghindari denda. Jadi tolong pinjam untuk keperluan produktif, bukan konsumtif," tegasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.