Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Masjid Agung Sang Cipta Rasa Cirebon, Simbol Kesetaraan Antar-Sesama

Kompas.com - 12/03/2024, 13:12 WIB
Muhamad Syahri Romdhon,
Glori K. Wadrianto

Tim Redaksi

CIREBON, KOMPAS.com - Masjid Agung Sang Cipta Rasa, yang terletak di kawasan Komplek Keraton Kasepuhan Cirebon, masih berdiri kokoh. Usianya yang sudah lebih dari 500 tahun tidak membuatnya lapuk.

Justru, masjid ini menjadi salah satu sumber sejarah peradaban Islam di tanah wali yang terus dipelajari banyak orang.

Sepintas, kita tidak akan menyadari bahwa bangunan yang berdiri di atas lahan sekitar 400-500 meter persegi ini, adalah sebuah masjid.

Gapura besar dan juga tembok tinggi yang mengelilingi sekitarnya, lebih menyerupai sebuah keraton atau padepokan.

Juga tidak ada "memolo" menjulang tinggi ke arah langit sebagaimana masjid pada umumnya.

Baca juga: Masjid Agung Sang Cipta Rasa: Sejarah, Arsitektur, dan Keunikannya

Beberapa tahun belakang, hiasan kaligrafi yang mencolok di gerbang pintu luar menghiasi, yang berfungsi sebagai penanda.

Namun, setelah melintasi gerbang, pengunjung dibuat takjub dengan masjid ini.

Bagian depan sebagai latar sangat terbuka luas, sementara bagian dalam tertutup rapat dengan sembilan buah pintu masuk.

Uniknya, pintu ini hanya berukuran sekitar satu orang yakni tinggi 1,5 meter dan lebar sekitar satu meter.

Ukurannya yang kecil ini, membuat tiap pengunjung yang hendak masuk harus menundukkan diri. Bahkan mereka harus antre masuk bergantian satu persatu karena sempitnya pintu.

Kyai Haji Muhamad Jumhur, Ketua Penghulu Keraton Kasepuhan Cirebon menyampaikan, pintu masjid ini menyimpan banyak makna.

 

Ukuran pintu yang kecil itu melambangkan makna yang sangat kuat. Semua orang dari berbagai latar belakang ekonomi, pekerjaan, suku, dan lainnya, harus menunduk masuk Masjid Agung Sang Cipta Rasa.MUHAMAD SYAHRI ROMDHON/ Kompas.com Ukuran pintu yang kecil itu melambangkan makna yang sangat kuat. Semua orang dari berbagai latar belakang ekonomi, pekerjaan, suku, dan lainnya, harus menunduk masuk Masjid Agung Sang Cipta Rasa.

Ukuran pintu yang kecil itu melambangkan makna yang sangat kuat. Semua orang dari berbagai latar belakang ekonomi, pekerjaan, suku, dan lainnya, semuanya harus menunduk masuk masjid.

"Maknanya, setiap orang harus menunduk, merendahkan diri saat hendak menghadap Sang Pencipta," kata Jumhur, Senin (11/3/2024) petang, usai tradisi dugdag di Bedug Samogiri.

Jumlah pintu sembilan buah ini juga melambangkan sembilan orang wali yang menyiarkan agama Islam di Indonesia.

Penyematan jumlah ini oleh arsitektur sebagai upaya mengabadikan jasa para wali di Tanah Air Indonesia.

Lebih lanjut Jumhur bercerita, Masjid Agung Sang Cipta Rasa dibangun pada sekitar tahun 1480–1500 masehi.

Baca juga: Masjid Agung Sang Cipta Rasa: Sejarah dan Arsitekturnya

Masjid ini dibangun berdasarkan perintah Syekh Syarief Hidayatullah atau yang dikenal sebagai Sunan Gunung Jati Cirebon.

Syarief Hidayatullah meminta bantuan seorang arsitektur ulung di masanya yakni Raden Sepat dari Kerajaan Majapahit.

Selain itu, sejumlah walisanga pun terlibat, antara lain: Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, dan lainnya yang turut membantu mendirikan masjid ini.

Jumhur yang juga sesepuh Keraton Kasepuhan ini juga menyebut, Pembangunan Masjid Agung Sang Cipta Rasa dilakukan hanya dalam waktu yang sangat singkat, yakni satu hari satu malam.

Kemampuan ini dapat dikerjakan karena para wali sudah memiliki banyak pasukan, serta memiliki “kekuatan” tersendiri.

“Masjid ini dibangun oleh para wali dan banyak pasukan saat itu. Konon, pembangunannya dilakukan dalam tempo waktu satu hari satu malam."

"Menurut perkiraan, dibangun pada sekitar 1480 atau 1490 sekian,” tambah Jumhur.

Hebatnya lagi, Jumhur menyebut konstruksi bangunan inti Masjid Agung Sang Cipta Rasa ini memiliki kekuatan anti gempa.

Pasalnya, pasukan yang membangun kala itu memanfaatkan 90 persen kayu jati yang sangat kokoh.

Batu, kapur, dan juga batu bata merah, hanya sebagian kecil sebagai pelengkap bangunan.

Ada satu tiang yang memiliki makna dan arti sendiri bagi kalangan keraton, yakni saka taltal, yang terbuat dari serpihan serpihan kayu yang dicampurkan dan dijadikan satu.

Saka taltal ini juga sebagai simbol satu satuan umat Islam untuk mempertahankan agamanya.

 

Akulturasi budaya, simbol setara antar-sesama

Suasana Masjid Agung Sang Cipta Rasa Keraton Kasepuhan Cirebon  KOMPAS.com/MUHAMAD SYAHRI ROMDHON Suasana Masjid Agung Sang Cipta Rasa Keraton Kasepuhan Cirebon

Cirebon yang lahir atas dasar kemajemukan pribumi serta para pendatang juga melekat pada masjid ini.

Sikap terbuka dan egaliter melalui jalur perdagangan pesisir pantura membuat kota ini kental akulturasi budaya.

Hal itu terbukti dari sejumlah tiang-tiang yang kokoh berdiri di bagian dalam masjid, sejumlah ukiran di tempat pengimaman, hingga bagian atap masjid agung.

Bagian-bagian yang khas tersebut merupakan peninggalan arsitektur Majapahit yang terus dijaga dan dilestarikan hingga saat ini.

Jumhur, menunjuk adanya simbol bunga teratai, matahari, ukiran Tionghoa, Cina dan lainnya yang bersatu padu di area pengimaman.

Baca juga: Masjid Agung Sang Cipta Rasa, Masjid dengan Ornamen Era Hindu-Buddha

Jumhur meyakini, Syekh Syarief Hidayatullah, tak hanya membuat masjid ini untuk solat saja, melainkan juga untuk menyebarkan nilai nilai Islam yang menghargai perbedaan.

"Kanjeng sinuhun Sunan Gunung Jati tidak melarang dan meninggalkan corak aneka ragam budaya yang berkembang saat itu. Justru mengadopsi nilai-nilai Hindu Budha, yang sudah ada sebelum Islam," tambah Jumhur.

Jumhur yang sejak kecil sudah di Keraton Kanoman ini juga mengagumi sikap Sunan Gunung Jati yang memutuskan nama masjid ini tanpa bahasa arab.

Sang Cipta Rasa juga konon mengadopsi bahasa Sansekerta, yang berarti Keagungan Sang Pencipta.

Masjid Agung Sang Cipta Rasa akan terus dipertahankan sebagai bangunan yang sangat bersejarah di Cirebon. Utamanya, kata dia, adalah bagian dalam yang merupakan awal mula Masjid Pakungwati.

Namun, ada beberapa penambahan-penambahan telah dilakukan oleh beberapa kepemerintahan raja setelah Syekh Syarief Hidayatullah. Hal ini terlihat dari bagian luar dan bangunan pelengkap di sekitar keliling masjid.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com