Editor
BANDUNG, KOMPAS.com - Vania (24) dan Darrian (24) tersenyum. Dengan semangat mereka menceritakan pengalaman magangnya di perusahaan perlengkapan outdoor terkemuka di Indonesia.
Vania bertugas di bagian pendataan surat. Ia akan menyerahkan surat-surat yang masuk kepada orang yang dituju.
Sedangkan Darrian Edmund Christopher Tunasaputra bertugas di bagian gudang. Ia akan mengecek barang masuk dan keluar.
Baca juga: Belasan Pelaku UMKM Disabilitas Buka Sentra Kuliner di Lembang
Sebagai orang dengan mental disabilitas, apa yang dilakukan Vania dan Darrian tidaklah mudah.
Mereka memerlukan waktu yang panjang dan usaha keras untuk bisa seperti sekarang, magang di perusahaan terkemuka dan bersosialisasi dengan orang sekitar.
Sebab orang dengan mental disabilitas memiliki sejumlah keterbatasan seperti short memory, sulit fokus, sensitif terhadap suara, tidak mudah untuk eye contact dan berkomunikasi serta lainnya.
"Perlu berbulan-bulan untuk mempersiapkan mereka siap kerja," ujar Head of House of Hope, Noel Sinaga kepada Kompas.com, belum lama ini.
Baca juga: Hak Penyandang Disabilitas Belum Terpenuhi dalam Rekrutmen PPPK Gorontalo
Noel masih mengingat bagaimana perjuangan Vania dan Darrian. Mereka datang ke House of Hope beberapa bulan lalu untuk belajar.
Mereka mengikuti tahapan demi tahapan pendidikan gratis ini. Mulai dari asesmen psikologi individu hingga orangtua.
Setelah lolos, mereka melewati tahap percobaan 3 bulan. Setelah itu masuk ke persiapan dan penilaian kerja.
"Kurang lebih 6-9 bulan selesai di stage 2. Pekerjaannya macam-macam ada melipat box, menempelkan double tape untuk melatih motorik halusnya, dan pekerjaan lainnya," ucap Noel.
Di sini juga mereka belajar public speaking, art therapy, hingga bersosialisasi dengan orang lain. Untuk setiap pekerjaan yang masuk, mereka akan mendapat honor.
Seperti gambar yang dihasilkan, akan dijual dengan sistem putus. Biasanya gambar-gambar ini dibeli untuk dijadikan souvenir berbentuk kaus, tumbler, hingga totebag.
Setelah dinilai bisa bekerja, mereka akan magang di perusahaan yang sudah bekerjasama dengan House of Hope. Hal itu penting karena SDM di perusahaan tersebut harus siap dengan anak-anak muda ini.
"Lingkungan juga harus mendukung. Untuk Jane dan Darrian magangnya di Eiger (kantor pusat)," ungkap Noel.
Untuk awal-awal, Vania dan Darrian kerja didampingi tim House of Hope. Durasi kerja pun dibatasi hanya setengah hari. Namun setelah beberapa bulan, mereka tidak didampingi dan kini sudah full time kerja.
Beberapa orang sedang melukis. Art therapy menjadi salah satu kegiatan di House of Hope.Noel menceritakan, ada 9 orang yang kini ditangani House of Hope, termasuk Vania dan Darrian. 9 orang ini memiliki latar belakang yang berbeda.
"Ada yang down syndrome, autis, tunagrahita, serta gangguan mental akibat di-bully," ungkap dia.
Korban bully ini, sambung Noel, dua tahun tidak mau bicara, sehingga didampingi psikolog. Di House of Hope pun ia introvert, tidak mau bicara,
Setelah beberapa bulan, tim menggali potensinya, rupanya ia bisa melukis. Kini pemuda tersebut mau mengobrol dan bertanya.
Yesiyani Putri Keli Aplunggi, Head of Activity Program House of Hope mengatakan, penanganan setiap anak berbeda. Hal tersebut menjadi tantangan tersendiri.
Misalnya Vania, kalau lagi marah, dia akan diam, tidak akan mengerjakan apapun. Tim mengetahui cara meredakan kemarahan Vania.
Yesiyani mengingatkan dalam prosesnya, tidak bisa berekspektasi sama anak-anak muda ini. Karena orang dengan mental disabilitas mudah lupa karena memiliki short memory.
Misalnya sebelum libur Lebaran, mereka sudah bisa menempel lem (membuat box), begitu selesai libur lupa lagi.
Karena itu, semua individu berkebutuhan khusus tidak boleh berhenti berkegiatan fungsional di rumah. Secara tidak langsung itu akan membantu motorik halus dan kasar.
Apakah mereka memiliki impian? Ya. Seperti Nana ingin menjadi seorang penulis dan ia suka menonton drama korea.
Untuk memupuk impiannya, Nana belajar bahasa Korea. Hingga ia menghasilkan satu skrip drama.
"Tidak ada yang mustahil, kami memberikan harapan untuk mimpi-mimpi mereka," ungkap dia.
Begitupun Darrian yang sudah berhasil magang di perusahaan. Ia ingin menjadi pengusaha sukses.
"Aku mau jadi pengusaha yang sukses yang tidak bergantung pada orang lain dan keluarga. Aku ingin membanggakan orangtua dan masyarakat yang lain," kata Darrian.
Lantas bagaimana bagi orangtua yang ingin memasukkan anaknya ke House of Hope? Lembaga ini tidak menutup diri bagi siapapun. Bisa mendaftar dan mengikuti beberapa tahapan asesmen.
Namun karena anak harus diantar setiap hari, sampai saat ini rata-rata orang Bandung. Karena semua pembelajarn gratis, maka yang dicari adalah orang yang membutuhkan.
Seperti 9 orang yang sedang dibina House of Hope, rata-rata orangtua mereka single parent yang membutuhkan bantuan.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang