Editor
KOMPAS.com – Gubernur Jawa Barat terpilih, Dedi Mulyadi, menegaskan pihaknya meneliti Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Jawa Barat 2025 secara mendetail bukan tanpa alasan.
Hal ini ia lakukan demi mewujudkan cita-cita besar untuk memperbaiki infrastruktur dan pendidikan di Jawa Barat.
“Seluruh infrastruktur jalan provinsi, kota, dan kabupaten harus selesai dalam waktu dua tahun, 2025 dan 2026,” kata Dedi dalam unggahan di akun Instagram @dedimulyadi71 yang dikonfirmasi ulang Kompas.com via telepon, Jumat (24/1/2025).
Baca juga: Heran Tagihan Air Disdik Rp 6,7 M, Dedi Mulyadi: Mandi Pakai Air Apa?
Selain itu, kebutuhan dasar pendidikan di tingkat SD, SMP, dan SMA harus selesai pada 2026. Untuk itu, Dedi menyatakan pentingnya sinkronisasi anggaran antara Disdik provinsi, kota, dan kabupaten.
“Sehingga kami (provinsi) tahu di mana harus intervensi,” jelasnya.
Jangan sampai, kata Dedi, terjadi kondisi memprihatinkan di beberapa wilayah.
“Pj Bupati Sukabumi bercerita bahwa ada sekolah yang belajarnya pakai tikar, ada yang pergi sekolah harus turuni sungai, malu atuh," kata dia.
Dedi mengkritik keras pemborosan anggaran yang tidak tepat sasaran. Anak-anak SD ada yang tidak punya bangku, tidak punya ruang kelas.
"Sementara kita setiap hari berpesta dengan ratusan miliar anggaran, itu tidak bisa. Harus diarahkan. Ini dulu yang harus diselesaikan," jelas Dedi.
Menurut dia, perlu menghitung rasio lulusan SD dengan ketersediaan ruang kelas di jenjang SMP dan SMA. Kewajiban belajar 9 hingga 12 tahun tidak akan efektif tanpa kesiapan fasilitas.
“Kalau Anda wajibkan sekolah, ya siapkan (ruang kelas). Kalau rakyat diwajibkan sekolah 9 tahun dan 12 tahun, maka negara harus menyiapkan fasilitasnya,” tegas Dedi.
Dedi menawarkan solusi untuk wilayah yang kekurangan sekolah. Bila sekolah SD lokasinya jauh dengan SMP, tinggal tambah tiga kelas di SD, maka jadilah SMP plus SD. Kalau SMP lokasinya jauh dengan SMA, tambahlah tiga ruang kelas SMP, jadilah SMA terpadu.
"Yang penting hari ini rakyat sekolah, jangan dulu ngomong ideal capaian, sudahlah," jelas Dedi.
Dia mengatakan, dulu ia lulusan STH Purnawarman Purwakarta. Kini sekolah tersebut sudah bubar.
"Tapi kan sekarang jadi gubernur. Ini artinya tidak ada relevansi sekolah di mana, gelarnya apa, tidak ada. Urusan pinter mah soal bakat dan usaha,” katanya.
Baca juga: Dedi Mulyadi Bingung Anggaran Ruang Kelas Hanya Rp 61 M, Sedangkan TIK Rp 725 M
Lebih lanjut, Dedi kembali menyoroti penahanan ijazah oleh sekolah. Ia meminta sekolah di Jawa Barat untuk menghentikan kebiasaan tersebut.
"Yang diomongin Pancasila, agama, tapi ijazah anak ditahan. Saya akan mengurus semua tunggakan siswa yang menyebabkan ijazahnya ditahan,” tegasnya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang