Editor
JAKARTA, KOMPAS.com - Sampah jadi persoalan di Pasar Gedebage, Kota Bandung. Itu karena sampah yang beberapa pekan tak dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA) menggunung.
Baunya tak hanya mengganggu pedagang dan pengunjung pasar, namun juga permukiman di sekitar, termasuk kompleks perumahan.
Wali Kota Bandung, M Farhan, menuturkan, masalah ini terjadi karena pasar tersebut tidak memiliki jatah pembuangan sampah ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sarimukti.
Akibatnya, sekitar 1.120 meter kubik atau setara dengan 600 ton sampah menumpuk di bagian belakang pasar hingga meluber.
Seakan menemui jalan buntu, Farhan pun melaporkan kondisi ini ke Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Pusat.
Pada Senin (28/4/2025), Farhan dan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi meninjau lokasi.
Baca juga: Tinjau Tumpukan Sampah di Pasar Gedebage Bersama Dedi Mulyadi, Farhan: Sudah Ada Solusi...
Menurut Farhan, dalam tinjuannya itu, sudah ada solusi untuk pengangkutan sampah.
Pihaknya telah berkoordinasi dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk melakukan pengangkutan sampah yang menumpuk itu ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sarimukti, Bandung Barat.
“Alhamdulillah, sudah ada solusi. Sampah yang ada sekarang akan segera diangkut menggunakan jatah ritase dari Pemerintah Kota Bandung. Kami dibantu dengan peralatan dan personel dari provinsi,” kata dia.
Farhan juga menegaskan bahwa pengangkutan sampah harus dilakukan dengan hati-hati, mengingat potensi bahaya gas metana yang terperangkap di bawah tumpukan sampah.
“Harus hati-hati saat mengangkut sampah, karena ada potensi ledakan akibat gas metana yang terperangkap di bawah,” katanya.
Ia memperkirakan proses pengangkutan sampah ini akan memakan waktu dua hingga tiga hari dengan penggunaan sekitar 40 ritase sampah per hari.
Kondisi tumpukan sampah di kawasan Pasar Gedebage, Kota Bandung, Jawa Barat, Senin (28/4/2025). Farhan menyebutkan iuran itu sebagai pungutan liar.
Ia mengungkapkan dugaan pungutan liar terkait iuran sampah yang mencapai sekitar Rp 5.000 per lapak di Pasar Gedebage, dengan sekitar 700 lapak, yang menghasilkan Rp 3,5 juta per hari.
Baca juga: Wali Kota Bandung Duga Praktik Korupsi di Balik Penumpukan Sampah Pasar Gedebage
“Sejak Desember 2024 sampai sekarang, kerugian yang diakibatkan oleh pengelolaan sampah yang tidak berjalan dengan baik ini mencapai miliaran rupiah,” ujar Farhan.
Pengelolaan tak berjalan baik karena mesin pencacah sampah di Pasar Gedebage mengalami kerusakan, mesin biodigester mati, dan tidak ada pengangkutan secara rutin.
Uang yang ditarik dari pedagang tak jelas peruntukannya.
Belum diungkap pihak yang menarik iuran tersebut. Namun demikian, Farhan menegaskan bahwa Pemkot Bandung dan Pemprov Jawa Barat akan mengambil langkah hukum terkait dugaan pungli tersebut.
“Saya bersama Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi sepakat untuk melakukan penegakan hukum sebagai langkah pertama, dilanjutkan dengan pengelolaan ulang sampah di Pasar Gedebage,” kata Farhan.
Tumpukan sampah di Pasar Gedebage, Kota Bandung, Senin (28/4/2029).Bau tidak sedap tersebut dapat tercium hingga jarak satu kilometer dari lokasi tumpukan sampah, terutama ketika angin berembus.
Hal ini dikeluhkan oleh warga setempat, Fina Monika (33), yang menyatakan bahwa hampir seluruh warga kompleks merasakan dampak dari bau yang sudah berlangsung lama.
"Sebenarnya, bau sampah itu sudah lama. Saya saja sudah 20 tahun lebih tinggal di sini. Baunya itu sampai ke area depan kompleks," ungkap Fina kepada Kompas.com, Senin pagi.
Baca juga: Bau Tak Sedap dari Gunungan Sampah di Pasar Gedebage Tercium hingga Permukiman
Dia menambahkan bahwa meskipun masalah ini sudah lama ada, bau paling menyengat terjadi dalam beberapa bulan terakhir.
Menurut Fina, hal ini disebabkan oleh tumpukan sampah yang semakin mendekat dan meluas. "Kalau hujan itu bau banget. Sekarang makin parah," imbuhnya.
Warga lainnya, Azis Warno (29), juga mengeluhkan bau menyengat tersebut.
Dia mengaku sudah merasa bosan dengan kondisi yang ada.
"Sudah pusing, maunya enggak bau lagi. Apalagi kalau sudah banjir, airnya sampai kesini," ungkapnya.
(Penulis: Kontributor Bandung, Putra Prima Perdana)
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang