Asep berpendapat bahwa penanggulangan aksi premanisme tidak cukup hanya dilakukan terhadap pelaku di lapangan, tetapi juga harus menindak preman yang berada di balik layar.
"Preman tidak bisa dianggap hanya sebagai preman lapangan saja; ada juga preman-preman lain yang berada di balik lapangan itu. Persoalan ini harus diselesaikan dengan melibatkan banyak pihak, pemerintah juga harus hadir mengevaluasi oknum-oknum yang ada," tegasnya.
Menurut Asep, penyelesaian masalah premanisme tidak hanya dapat dilakukan melalui pendekatan hukum, tetapi juga harus diiringi dengan solusi jangka panjang yang melibatkan banyak elemen.
"Premanisme tidak bisa ditumpas hanya dengan hukuman keras. Harus ada pendekatan humanis hingga pembinaan spiritual. Penanganan jangka panjang ini harus ada penataan yang bagus dan sistematis," ungkapnya.
Baca juga: Polda Bengkulu Sita Senpi dan Periksa Debt Collector Ilegal dalam Operasi Premanisme
Oleh karena itu, pendidikan moral dan etika perlu dimulai sejak dini, baik dari keluarga maupun lingkungan.
Tokoh masyarakat dan agama harus aktif membangun ruang interaksi sosial yang sehat untuk menumbuhkan karakter positif.
Asep menekankan bahwa banyak anak terjerumus ke dalam lingkungan buruk karena keluarganya yang sibuk, sehingga lingkungan tersebut memengaruhi mereka secara emosional.
"Nah, ini hal-hal yang perlu direnungi agar kita dapat menyusun strategi untuk membangun mereka dengan lebih baik ke depan," katanya.
Di aspek ekonomi, Asep menekankan bahwa pemerintah tidak hanya harus melakukan penindakan tetapi juga memberikan solusi ekonomi bagi warganya, seperti pelatihan keterampilan, penciptaan lapangan kerja, dan distribusi bantuan sosial yang tepat sasaran.
Guna memutus rantai premanisme, Asep menilai bahwa pendidikan formal, informal, dan non-formal sangat penting untuk melindungi generasi mendatang dari lingkungan pergaulan yang negatif.
Baca juga: Berantas Premanisme, Puluhan Jukir Liar di Tasikmalaya Dibina Pakai Seragam Mirip Tahanan
"Pendidikan formal itu oleh sekolah, lembaga pendidikan yang mengasah kecerdasan intelektual. Pendidikan informal dibangun oleh keluarga dan masyarakat, mengasah keterampilan emosi dan sosial untuk menghadapi kondisi dan orang-orang tertentu," jelasnya.
Namun, Asep mengingatkan bahwa proses pembentukan karakter ini tidak bisa dilakukan secara instan.
"Oleh karena itu, saya mengundang semua pihak, termasuk keluarga, agamawan, dan masyarakat, untuk peduli terhadap kondisi lingkungan di mana anak-anak kita berada, agar mereka tumbuh dan berkembang sesuai dengan norma yang ada," pungkasnya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang