CIAMIS, KOMPAS.com – Sebanyak 13 rumah warga di Dusun Angsana, Desa Neglasari, Kecamatan Pamarican, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, mengalami kerusakan akibat gerakan tanah yang terjadi sejak Sabtu (19/5/2025) pukul 23.59 WIB. Peristiwa ini berdampak pada 13 kepala keluarga dengan total 34 jiwa.
Kepala Badan Geologi M Wafid menyebut gerakan tanah yang terjadi berupa rayapan, yakni gerakan tanah lambat namun bisa menimbulkan dampak luas.
“Berdasarkan interpretasi dari foto dan laporan dari BPBD Kabupaten Ciamis, gerakan tanah berupa rayapan yang ditandai dengan munculnya retakan pada permukaan dan bangunan. Gerakan tanah ini bergerak lambat namun sering menimbulkan dampak yang luas,” kata Wafid dalam keterangan tertulis, Rabu (28/5/2025).
Baca juga: Pergerakan Tanah Terjadi Tiga Kali di Purwakarta, 48 Rumah Rusak dan Warga Diminta Siaga
Ia menjelaskan, secara morfologi wilayah tersebut berupa perbukitan dengan kemiringan lereng landai hingga agak curam, berada pada ketinggian 41 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Berdasarkan Peta Geologi Lembar Majenang, batuan penyusun daerah itu adalah Formasi Tapak berupa batupasir kehijauan yang berangsur menjadi batupasir halus sisipan napal, serta endapan aluvium yang terdiri dari kerikil, pasir, dan lempung.
“Artinya daerah ini mempunyai potensi menengah hingga tinggi untuk terjadi gerakan tanah apabila dipicu oleh curah hujan yang tinggi atau di atas normal, terutama pada daerah yang berbatasan dengan lembah sungai, gawir, tebing jalan, atau jika lereng mengalami gangguan. Gerakan tanah lama dapat aktif kembali,” ujarnya.
Menurut Wafid, faktor penyebab utama adalah kemiringan lereng yang agak curam, tanah pelapukan yang tebal dan poros, serta curah hujan tinggi yang menyebabkan tanah jenuh air.
Baca juga: Pergerakan Tanah di Tasikmalaya, 100 Bangunan Rusak dan 42 Keluarga Mengungsi
Ia juga menyoroti sistem drainase permukaan di daerah tersebut yang belum tertata dengan baik.
“Curah hujan tinggi yang menyebabkan tanah jenuh air,” ungkap Wafid.
Sebagai langkah antisipasi, masyarakat diminta untuk waspada, khususnya saat musim hujan, serta melakukan perbaikan rumah dan pemantauan retakan.
“Jika terjadi perkembangan yang menerus pada retakan yang telah ada dan muncul rembesan air baru atau hilangnya mata air lama atau ada perubahan mata air dari bening menjadi keruh agar segera mengungsi dan melaporkan ke Pemerintah Daerah setempat. Jika retakan berkembang dan meluas ke arah permukiman, maka permukiman yang rusak sebaiknya direlokasi ke tempat yang lebih aman,” imbaunya.
Wafid juga mengimbau agar saluran air dijaga agar tidak mengalir ke area retakan, serta menyarankan penutupan retakan menggunakan tanah liat.
“Daerah ini rawan terjadi gerakan tanah lambat sehingga diperlukan adaptasi lokal (kearifan lokal) di lokasi ini dengan bangunan berupa rumah panggung, bukan permanen atau konstruksi rigid. Konstruksi tembok permanen dan lantai keramik, jika terjadi gerakan tanah walaupun lambat, akan membentuk retakan pada dinding, kolom, dan lantai, serta bangunan berisiko roboh,” ujar Wafid.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang