BANDUNG, KOMPAS.com - Kemacetan di Kota Bandung kian menjadi sorotan.
Terbaru, survei lembaga internasional TomTom Traffic Index menempatkan Kota Bandung di posisi teratas sebagai kota termacet di Indonesia, mengalahkan Medan, Palembang, hingga Jakarta.
Data mencatat, jarak 10 kilometer di Bandung, pengendara membutuhkan waktu rata-rata 33 menit.
Kepala Satuan Lalu Lintas (Kasatlantas) Polrestabes Bandung, AKBP Wahyu Pristha Utama, menegaskan Polrestabes Bandung bersama pemerintah daerah tengah berupaya mencari solusi konkret terhadap kondisi tersebut.
Baca juga: Bandung Jadi Kota Termacet Ke-12 Dunia, Pergeseran Jam Masuk PNS Dikaji
"Tentunya ini (hasil survei) kami tanggapi dengan serius dan kemarin juga sempat kami rapatkan bersama para pimpinan instansi karena mau tidak mau harus segera dicarikan solusinya," ucapnya saat dikonfirmasi wartawan, Rabu (9/7/2025).
Menurut Wahyu, salah satu penyebab utama kemacetan di Bandung adalah ketimpangan antara jumlah kendaraan dan kapasitas infrastruktur yang tersedia.
Meningkatnya kepemilikan kendaraan pribadi semakin menambah beban lalu lintas.
Karena itu, kolaborasi antarinstansi terkait, dalam hal ini Satlantas Polrestabes Bandung, Dinas Perhubungan Kota Bandung, hingga pengelola tol, sangatlah penting untuk mencari solusi dari kemacetan tersebut.
"Kami akan terus mencari win-win solution-nya agar semua bisa terakomodasi dengan baik. Kami akan berupaya menyatukan persepsi agar selalu kompak, satu visi misi dalam mencari formula maupun pola strategi yang pas," lanjutnya.
Baca juga: Kata Warga soal Bandung Peringkat Ke-12 Kota Termacet di Dunia: Capek...
Sementara itu, Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan, mengaku prihatin dengan kondisi macet yang terus memburuk.
Ia menyebut, penobatan Bandung sebagai kota termacet bukanlah hal yang membanggakan.
Menurut dia, tingginya jumlah kendaraan pribadi menjadi salah satu penyebab utama kemacetan di Kota Bandung.
"Ini fakta ya, saya bukan ngeles nih, jumlah penduduk Kota Bandung 2,6 juta, jumlah kendaraan pribadi bernomor D Bandung itu 2,3 juta," ujarnya.
Ia pun menilai buruknya sistem transportasi publik mendorong masyarakat memilih kendaraan pribadi.
Farhan menyoroti peran angkot sebagai salah satu penyumbang kemacetan, meski jumlah penggunanya semakin sedikit.
Ia pun berencana menghapus sistem trayek pada angkot agar bisa beroperasi lebih fleksibel seperti ojol atau taksi online.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang