CIMAHI, KOMPAS.com - Tak ada pesta air mata ketika Alfa Firdaus duduk di ranjang bertingkat yang baru, hanya diam panjang dan tatapan dalam ke langit-langit yang bukan milik rumahnya.
Hari itu, ia bukan sekadar pindah tempat tidur.
Ia sedang memindahkan seluruh cita-cita dan masa depannya ke bangunan asrama yang dikelola negara.
Pada usia 13 tahun, bocah asal Kampung Cigugur Tengah, Cimahi, ini mulai belajar satu pelajaran penting yang tak tertulis dalam kurikulum sekolah: menjadi dewasa sebelum waktunya.
Ranjang besi bertingkat di asrama Sentra Abiyoso, Kelurahan Leuwigajah, jadi simbol baru perjalanannya.
Ia resmi menjadi murid Sekolah Rakyat Menengah Pertama (SRMP) 08 Kota Cimahi, sekolah yang diimpikan rakyat kecil dan diresmikan oleh negara.
Sebuah lembaga pendidikan yang lahir dari janji mulia: mengentaskan kemiskinan dengan mengisi dengan ilmu pengetahuan.
Baca juga: 100 Sekolah Rakyat Dibuka Juli 2025, Solusi Kemiskinan Lewat Pendidikan
Alfa bukan anak yang gagal sekolah, melainkan sistemlah yang gagal mengakomodasi anak-anak seperti Alfa.
Ia sempat mendaftar ke SMP Negeri 16 Cimahi, juga nyaris masuk SMP PGRI 5, sebelum akhirnya "dipungut" sekolah buatan negara—gratis, tetapi berjarak dari pelukan ibu.
"Orangtua mendaftarkan saya ke sini, kalau inginnya ke SMPN 16. Sempat juga mau masuk ke SMP PGRI 5 Cimahi, cuma enggak jadi," kata Alfa polos, Sabtu (12/7/2025).
Keputusan itu bukan karena ambisi, melainkan karena kenyataan.
Alfa paham benar, tak semua mimpi bisa dibeli dengan kerja serabutan ayahnya.
Maka, ia memilih jalan sunyi ini, sekolah gratis yang syaratnya satu: rela meninggalkan rumah.
"Ya senang saja sekolah di sini, enggak apa-apa temannya cuma sedikit, yang penting tetap bisa belajar," ujarnya.
Baca juga: Dimulai 14 Juli 2025, Lebih dari 9.700 Siswa Akan Ikut Sekolah Rakyat
Asrama tempat Alfa tinggal cukup layak, setidaknya jika dibandingkan dengan kontrakan sempit yang dulu ia tinggali bersama orangtua dan saudaranya.