Ada ranjang susun, lemari besi, dan kamar mandi.
Namun, siapa yang tahu, seberapa dingin sebuah ranjang besi saat pelukan ibu digantikan dengan nama yang tergantung di rangkanya.
Ibunya, Irma, tampak lebih sunyi dari biasanya. Ia tak menangis di depan anaknya.
Namun, air matanya mungkin "telah diseduh" di dapur, bersama segelas teh yang tak sempat habis.
Ia memilih ikhlas, sebab itulah satu-satunya kemewahan yang masih bisa ia wariskan kepada anaknya.
"Awalnya tetangga bilang ada Sekolah Rakyat, sekolahnya gratis tapi asrama. Saya coba daftar, malahan anak sempat ditolak karena sudah penuh. Tapi, beberapa hari kemudian dihubungi, 'siap enggak katanya anak belajar di Sekolah Rakyat?' Ya saya jawab siap, kebetulan anak juga mau," kata Irma.
Tak mudah bagi Irma melepas Alfa.
Namun, tak juga mudah membesarkannya di rumah dengan penghasilan harian yang tak tentu datang.
Baca juga: Menteri PPPA Bentuk Satgas Cegah Kekerasan Seksual di Sekolah Rakyat
Meninggalkan anak di asrama adalah pilihan rasional dari seorang ibu yang dikepung ketidakpastian.
"Saya enggak pernah pisah lama sama dia sejak kecil, ya enggak apa-apa demi cita-cita dia. Kan masih bisa menjenguk nanti, kebetulan enggak jauh dari Cigugur ke Leuwigajah," ucap Irma.
Semoga saja, bagi Alfa dan 99 anak lain di SRMP Cimahi, kehadiran negara ini bukan sekadar basa-basi kekuasaan.
Dan di ranjang bertingkat itu, Alfa mungkin sedang menulis narasi kecilnya sendiri.
Tentang harapan, keikhlasan, dan bagaimana sebuah cita-cita bisa lahir dari peluk ibu yang dilepas perlahan di halaman asrama.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang