Editor
BANDUNG, KOMPAS.com — Masjid Lautze yang berada di Jalan Tamblong No 27 Braga, Bandung, menyimpan banyak cerita. Terutama dari jamaahnya.
Seperti yang dialami Masti, seorang perempuan asal Medan. Baginya, Masjid Lautze rumah keduanya.
Semua berawal dari keputusan Masti menjadi mualaf. Suasana rumah yang seharusnya menjadi tempat paling aman dan nyaman berubah drastis bagi Masti.
Pada suatu malam di tahun 2017, ia harus duduk di tengah keluarganya dan menjawab pertanyaan yang tak mudah: mengapa memutuskan menjadi muslim? Pertanyaan itu berujung pada keputusan berat, ia diminta meninggalkan rumah.
“Waktu kecil, saya ikut kegiatan keputrian. Awalnya hanya untuk menambah nilai pelajaran, tapi bahasannya menarik. Sejak itu belajar Islam jadi kegiatan rutin,” kenang Masti saat ditemui di Masjid Lautze, Bandung.
Baca juga: Cerita Ibu-Anak Jadi Mualaf Saat Ramadhan, Ucap Syahadat di Masjid Agung Jawa Tengah Magelang
Keputusannya memeluk Islam bukan muncul secara tiba-tiba. Sejak kecil, ia sudah bersekolah di madrasah ibtidaiyah, meski berasal dari keluarga non-Muslim.
Keakraban dengan ajaran Islam sejak dini terus tumbuh hingga dewasa, bahkan semakin kuat setelah ia mempelajari perbandingan agama secara mandiri.
Perjalanan spiritualnya mencapai titik balik ketika ia mengalami mimpi yang memotivasinya untuk mencari pemahaman lebih mendalam.
Pencariannya membawanya ke Masjid Lautze Bandung yang dikenal sebagai ruang terbuka bagi para pencari ilmu dan calon mualaf.
Di sanalah ia belajar ulang dari awal: tata cara wudhu, salat, hingga membaca Al-Qur’an. Namun jalan sebagai mualaf tak selalu mudah.
“Masa paling menyedihkan adalah Idul Fitri pertama. Karena sudah diusir, saya hanya berlebaran dengan pengurus masjid. Saya lihat teman-teman mualaf dikunjungi keluarganya, mereka foto dan makan bersama. Saya iri, tapi tak bisa apa-apa,” ujarnya dengan mata berkaca-kaca.
Meski demikian, ia mencoba bersuka cita di masjid yang sudah menjadi mitra Rumah Amal Salman sejak 2017 dalam penyaluran bantuan kepada mualaf sabagai bagian dari asnaf zakat.
Tidak hanya di rumah, tantangan juga datang dari lingkungan kerja. Masti sempat dikucilkan karena keputusannya memeluk Islam. Beruntung, pengurus Masjid Lautze membantunya mendapatkan tempat tinggal sementara hingga hidupnya perlahan membaik.
Dua tahun setelah kejadian itu, hubungan Masti dengan keluarganya mulai membaik. Kini, meskipun berbeda keyakinan, mereka bisa saling menghargai.
“Saya tetap datang saat Natal. Kami ngobrol, makan bareng. Tidak bicara soal agama. Kami menjaga damai,” ujarnya.
Hari-harinya kini dijalani dengan tenang di Bandung. Ia berdagang sayur secara online, dan sesekali mengantar pesanan ke restoran milik temannya. Meski sederhana, perjalanan hidupnya mencerminkan keberanian dan keteguhan hati.
“Saya sempat merasa minder karena tidak bisa mengaji, tapi saya berdoa terus. Tiga bulan kemudian, saya sudah bisa baca Al-Qur’an,” kata Masti.
Menutup kisahnya, Masti menyampaikan pesan yang ia harap bisa menjadi perhatian lebih banyak orang.
“Kalau ada orang baru masuk Islam, tolong dampingi. Dengarkan cerita mereka, temani proses belajarnya, karena tidak semua bisa memahami keinginan kita untuk menjadi mualaf. Orang terdekat sekalipun belum tentu memahami,” pungkasnya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang