Editor
BENGKULU, KOMPAS.com - Sebanyak 72 siswa SMA Negeri 5 Bengkulu mendadak diberhentikan dari sekolah setelah belajar selama satu bulan.
Keputusan tersebut memicu protes keras para orangtua, karena anak-anak mereka sudah mengikuti seluruh rangkaian pendaftaran resmi, termasuk daftar ulang dan Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS).
Pihak sekolah menyebut pemberhentian ini disebabkan karena 72 siswa tersebut tidak memiliki Data Pokok Pendidikan (Dapodik). Kondisi itu membuat mereka dianggap tidak sah tercatat sebagai peserta didik.
Baca juga: Posko Kisruh 72 Siswa SMAN 5 Bengkulu: 30 Keluar Sukarela, 42 Tetap Bertahan
Kekecewaan memuncak pada Rabu (21/8/2025), saat 42 wali murid mendatangi Gedung DPRD Provinsi Bengkulu untuk mengadukan nasib anak mereka.
Sementara itu, 30 siswa lainnya memilih mencari sekolah lain yang masih membuka kuota penerimaan siswa baru.
“Anak saya down, dia nangis sepanjang hari, malu bercampur sedih,” ujar seorang ibu saat menyampaikan keluhan di hadapan anggota DPRD.
Seorang wali murid lain mengaku, kondisi psikologis anaknya memburuk setelah dinyatakan tidak terdaftar.
“Anak kami sakit, saya juga sakit. Psikis anak saya terkena juga sejak mengetahui ia ternyata tidak terdaftar,” ujarnya.
Bahkan, beberapa wali murid tak kuasa menahan air mata ketika menceritakan anak-anak mereka yang harus menerima kenyataan pahit setelah belajar sebulan namun dinyatakan tidak memiliki data resmi.
“Kami mohon kebijakan. Kami mohon pihak sekolah bertanggung jawab,” kata salah satu wali murid dengan nada penuh harap.
Baca juga: Tangis 72 Siswa SMAN 5 Bengkulu yang Diberhentikan Mendadak, Kepsek Angkat Bicara
Kepala SMAN 5 Bengkulu, Bihan menjelaskan, keputusan tersebut terpaksa diambil berdasarkan aturan seleksi penerimaan siswa baru yang merujuk pada Peraturan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Permendikdasmen) serta Peraturan Gubernur (Pergub).
Ia menegaskan terdapat empat jalur penerimaan: prestasi akademik dan non-akademik, afirmasi, pindah tugas orangtua, dan domisili.
“Berdasarkan itulah kami melakukan seleksi siswa baru,” kata Bihan.
Menurutnya, SMA Negeri 5 hanya memiliki 12 ruang belajar dengan kapasitas maksimal 36 siswa per kelas. Namun, saat ia melakukan pengecekan pada 21 Juli, jumlah siswa di setiap kelas ternyata melebihi batas hingga mencapai 43 orang per kelas.
“Harusnya satu ruang belajar 36 murid, ternyata ada 43 murid tiap kelas,” ujarnya.
Bihan menambahkan, masalah ini bermula dari teknis pendaftaran.
“Kesalahannya terletak pada berbondong-bondongnya masyarakat menemui operator. Saya sudah ingatkan operator untuk tidak menambah calon siswa, namun itu masih dilanggar,” katanya.
Mengenai dugaan adanya praktik titipan siswa maupun permainan uang dalam penerimaan, ia menegaskan tidak mengetahuinya.
“Enggak tahu saya kalau ada permainan uang,” ujarnya.
Di sisi lain, sejumlah orangtua mengaku banyak strategi digunakan agar anak bisa diterima di SMA Negeri 5.
HS, seorang wali murid, mengaku pernah memindahkan Kartu Keluarga (KK) ke sekitar sekolah agar anaknya bisa diterima melalui jalur domisili.
“Setahun sebelum anak saya lulus SMP, saya sudah memindahkan KK. Modus pindah KK ini memang banyak terjadi,” kata HS.
Selain itu, isu titip anak pada orang berpengaruh serta pengondisian nilai SMP juga disebut sebagai strategi sebagian orangtua.
Bahkan, PJ, seorang ibu rumah tangga, mengaku pernah mendengar adanya praktik penggunaan uang.
“Saya sempat mendengar ada yang menggunakan uang, tetapi tidak bisa dipastikan apakah itu ulah oknum calo atau tarif tidak tertulis,” ungkapnya.
Kisruh ini akhirnya dimediasi oleh DPRD Provinsi Bengkulu. Ketua Komisi IV DPRD Bengkulu, Usin Abdisyah Sembiring, menegaskan bahwa masalah ini tidak boleh merugikan masa depan siswa.
“Orangtua harus mengubah paradigma, jangan menganggap bahwa tidak diterima di SMA Negeri 5 seperti masuk neraka. Masa depan anak tidak suram hanya karena itu,” kata Usin.
DPRD bersama Dinas Pendidikan, sekolah, dan wali murid membentuk tim bersama untuk membantu mencari sekolah bagi siswa terdampak.
Posko penyaluran dibuka di Dinas Pendidikan guna memfasilitasi siswa yang ingin pindah ke sekolah negeri lain.
“Pengisian Dapodik harus cepat karena batas terakhir adalah 31 Agustus,” kata Usin.
Sekretaris Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) Dinas Pendidikan Provinsi Bengkulu, Agus Fajar, menyebut posko hanya dibuka satu hari, pada Kamis (21/8/2025). Dari 42 siswa, hanya delapan yang memasukkan berkas.
Anggota DPD RI asal Bengkulu, Destita Khairilisani, juga menyoroti kasus ini. Ia menilai kejadian tersebut harus menjadi bahan evaluasi serius di tingkat pusat.
“Kejadian ini tentunya harus diperiksa secara menyeluruh sehingga kita bisa mengetahui apa yang menjadi sumber permasalahannya, agar ke depannya tidak mengorbankan siswa yang memiliki semangat untuk belajar,” kata Destita dalam keterangan tertulis.
Ia menegaskan akan membawa persoalan ini ke Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) agar menjadi evaluasi nasional.
“Jika sudah didapatkan akar permasalahan, apakah karena daya tampung sekolah, regulasi, atau keterbatasan SDM operator, maka itu akan saya sampaikan agar tidak terulang,” ujarnya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang