BANDUNG, KOMPAS.com - Kabut subuh masih menggantung seperti selendang tipis ketika derap tapal kuda mulai terdengar di Jalan Raya Dayeuhkolot. Di antara anyir banjir yang mengendap, para kusir delman hadir sebagai saksi yang tak pernah ingkar pada rutinitas, mempertahankan tradisi yang nyaris tersingkir oleh zaman.
Dari kejauhan, bayang-bayang kereta kuda itu tampak seperti siluet masa lampau yang menyusup ke celah-celah modernitas. Kusir-kusirnya datang lebih awal dari cahaya pagi, mendekap jaket tipis, sambil memeriksa roda kayu yang kerap digempur arus air setinggi paha orang dewasa.
“Subuh mah kudu datang (subuh harus datang) Penumpang pertama biasanya pegawai pabrik yang baru pulang shift malam,” ujar Maman Rahman (48), seorang kusir asal Baleendah yang lama mengenal banjir Dayeuhkolot.
Baginya, subuh bukan sekadar waktu dini hari, melainkan pertarungan pertama antara harapan dan kenyataan.
Baca juga: Banjir Lumpuhkan Jalan Raya Dayeuhkolot Bandung, Pengendara Mulai Lelah Hadapi Situasi Berulang
Pegawai pabrik yang baru keluar dari gerbang kawasan industri menjadi penumpang awal yang menaruh kepercayaan pada delman.
Dalam tubuh mereka yang letih, tersimpan kecemasan melewati banjir tanpa harus mempertaruhkan keselamatan.
"Banjir sakieu mah kudu ku delman, naon deui lamum lain ku ieu (delman) (banjir segini mah harus pakai delman, apa lagi kalau bukan kendaraan ini), keluh seorang penumpang yang memilih menaiki delman ketimbang nekat berjalan kaki menembus air.
Kusir delman saat tengah mengantarkan penumpang melintasi banjir di Jalan Raya Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Senin (31/11/2025) delman menjadi salah satu alternatif bagi warga dan pengendara yang tak berani menerjang banjirDi saat ojek enggan melintasi banjir, delman tampil sebagai penyelamat yang tak pernah diharapkan namun selalu dicari.
Menjelang pagi merayap, para pembeli dari perkampungan sekitar mulai berdatangan. Mereka mencari toko yang buka di Pasar Dayeuhkolot, sementara jalur-jalur menuju pasar itu terputus seperti tubuh sungai yang kehilangan kendali.
Delman menjadi jembatan sunyi antara rumah dan pasar. Kereta kayu itu bergerak perlahan, menahan riak banjir, mengantar ibu-ibu yang membawa keranjang kosong namun hati yang penuh rencana.
Baca juga: Banjir Dayeuhkolot, Bupati Dadang Sentil Perusahaan Abai: Pengusaha Jangan Picik
Tidak sedikit pula warga yang hendak menuju Baleendah terpaksa berhenti di titik genangan. Arus air yang mencapai paha orang dewasa memutus langkah mereka, seolah menegaskan bahwa banjir bukan hanya bencana, tetapi juga gerbang yang harus dinegosiasikan dengan kehati-hatian.
“Mun ka Baleendah ti dieu mah, delman kénéh nu bisa nganter, ( Kalau ke Baleendah lewat jalur ini, cuma delman yang bisa nganter),"tutur Dadan (38), kusir lain yang sorot matanya teduh.
Dadan mengibaratkan delman sebagai perahu kecil yang hidup di daratan, bergerak pelan tapi pasti menembus aral.
Peran lain yang membuat para kusir ini kian dibutuhkan adalah kemampuannya mengangkut sepeda motor. Banyak pengendara memilih menaikkan motor mereka ke delman daripada memaksa mesin menyelam dalam air kotor yang mengancam piston.