Editor
BANDUNG, KOMPAS.com – Tekanan inflasi di Jawa Barat sepanjang Januari–November 2025 masih didominasi kenaikan harga pangan strategis, terutama beras, cabai merah, minyak goreng, serta komoditas lain seperti emas dan tarif air PAM.
Plh Kepala Perwakilan Bank Indonesia Jawa Barat, Muslimin Anwar, menyebut inflasi tahun ini terjadi tujuh kali ini yang menunjukkan adanya ketidakseimbangan antara produksi dan harga.
“Inflasi adalah cerminan dari ketersediaan pangan rakyat dan daya beli masyarakat. Yang kami lihat tahun ini adalah paradoks: produksi beras meningkat, tetapi harga di konsumen masih tinggi,” ujar Muslimin dalam rilisnya, Rabu (10/12/2025).
Baca juga: Harga Cabai Rawit di Bandung Naik 30 Persen Jelang Natal dan Tahun Baru
Dalam High Level Meeting Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) dan Tim Percepatan dan Perluasan Digitalisasi Daerah (TP2DD) Jabar, Muslimen menilai, hal tersebut memperlihatkan ada masalah struktural di titik-titik kritis rantai pasok yang harus dibenahi bersama.
Gangguan suplai akibat cuaca, meningkatnya permintaan, serta distribusi yang belum efisien menjadi kombinasi yang memicu lonjakan harga di banyak daerah.
Inflasi di Jawa Barat juga menunjukkan pola spasial yang timpang. Kota Sukabumi, Kota Cirebon, dan Kabupaten Majalengka mencatat inflasi year-to-date (YTD) tertinggi, terutama karena tekanan pangan bergejolak.
Sebaliknya, Kabupaten Subang menjadi daerah dengan inflasi YTD terendah. Bahkan Subang mengalami deflasi karena penurunan harga pada kelompok perumahan, air, listrik, dan bahan bakar pada awal tahun serta panen raya pada triwulan III dan IV.
Temuan ini mengisyaratkan perlunya kebijakan pengendalian inflasi yang disesuaikan dengan karakteristik masing-masing wilayah, bukan kebijakan seragam untuk seluruh daerah.
Ilustrasi beras SPHP.Meski produksi padi di Jawa Barat diperkirakan mencapai 5,91 juta ton atau naik 18,64 persen dibanding 2024, harga beras masih melampaui HET bahkan setelah penyesuaian pada 22 Agustus 2025.
Salah satu penyebabnya adalah penyaluran beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) yang baru mencapai 24,67 persen dari target per 17 November 2025.
Margin perdagangan dan pengangkutan (MPP) untuk komoditas seperti beras dan bawang merah juga masih tinggi, membuat selisih harga antara produsen dan konsumen tetap lebar.
Muslimin menegaskan perlunya penguatan tata kelola pangan daerah.
“Kami melihat fungsi BUMD pangan memiliki peran strategis dalam membantu pemerintah daerah sehingga perlu diperkuat dan dioptimalkan. Ke depan, strategi perlu diperkuat untuk tata kelola rantai pasok yang terencana, transparan, dan berbasis data real-time,” tutur dia.
Bank Indonesia memperkirakan inflasi Jawa Barat pada 2026 masih akan terjaga pada kisaran 2,5 ± 1 persen. Namun sejumlah risiko perlu dicermati, antara lain: potensi kenaikan tarif listrik, jalan tol dan LPG 3 kg.
Kemudian dampak la nina terhadap produksi hortikultura, tekanan harga komoditas logam global, dan lonjakan permintaan akibat kenaikan UMP dan momen Hari Besar Keagamaan.
Sebagai antisipasi, BI dan Pemprov Jawa Barat menyiapkan empat langkah utama:
1. Penguatan peran BUMD pangan sebagai offtaker dan distributor ke wilayah defisit
2. Digitalisasi dan integrasi data pangan
3. Modernisasi budidaya dan sistem pasca panen, seperti penyediaan cold storage dan pendampingan teknologi
4. Edukasi diversifikasi konsumsi pangan lokal
Muslimin menegaskan penanganan inflasi ke depan tak bisa lagi menggunakan cara lama.
“Penanganan inflasi volatile food perlu pendekatan inovasi dan cara baru, tidak hanya mentransaksikan barang, tetapi membangun ekosistem,” ujarnya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang