BANDUNG, KOMPAS.com - Permainan tradisional Sunda atau yang dikenal sebagai kaulinan barudak sunda, terancam punah di tengah arus digitalisasi.
Berbagai faktor menjadi penyebabnya, mulai dari hilangnya lahan bermain yang beralih fungsi menjadi bangunan, hingga dominasi gadget seperti ponsel yang kini menjadi pilihan utama anak-anak.
Pelaksana Tugas (Plt) Sekretaris Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Bandung, Nenden Siti Nurlaela menjelaskan, program melestarikan kaulinan anak-anak terus diupayakan di lingkungan Kabupaten Bandung.
Baca juga: Balogo, Permainan Tradisional dari Kalimantan Selatan
Program ini ditujukan untuk anak-anak Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) hingga murid Sekolah Dasar (SD).
"Di masa yang akan datang, mereka yang akan mempertahankan budaya kita. Makanya, kami menyasar generasi muda, karena mereka adalah penggawa budaya Sunda dan pelestari di masa depan," ujar Nenden saat ditemui di Gedung Budaya Soreang, Bandung, Jawa Barat, pada Kamis (31/10/2024).
"Kesempatan ini bukan hanya untuk saat ini, ke depannya akan ada berbagai program pelestarian budaya lainnya," tambah dia.
Baca juga: Mengintip Komunitas Hong, Penjaga Permainan Tradisional Sunda
Nenden mengungkapkan keprihatinannya terhadap anak-anak yang lebih sering bermain gadget daripada beraktivitas fisik bersama teman-teman.
Dia menilai, masalah ini menjadi perhatian serius bagi Disbudpar Kabupaten Bandung. Mereka bertekad untuk mengajak anak-anak lebih mengenal dan memainkan permainan tradisional yang mendidik serta melatih keterampilan.
"Kami perlu melestarikan permainan ini di sekolah-sekolah. Kenapa? Karena anak-anak saat ini lebih sering bermain gadget. Oleh karena itu, kami berkewajiban mengadakan program ini. Ke depannya, kami juga akan mengadakan workshop untuk guru-guru agar bisa mengajarkan permainan ini kepada anak didiknya," jelasnya.
Nenden menambahkan, kaulinan anak-anak Sunda mengandung banyak filosofi yang dapat membantu siswa belajar memaknai dan mengimplementasikan nilai-nilai tersebut.
Permainan tradisional ini juga dapat memperkuat Muatan Lokal (Mulok) yang saat ini menjadi salah satu referensi pembelajaran di sekolah.
Contohnya, permainan Cingciripit mengajarkan anak untuk gesit agar tidak ketinggalan.
Sementara itu, Sasalikpetan mengajarkan kepemimpinan dan kerja sama, sedangkan Gangsing membutuhkan ketelitian dan kecerdikan untuk memainkannya dengan baik.
Nenden berharap, generasi muda tidak hanya menguasai teknologi, tetapi juga tetap melestarikan permainan tradisional yang merupakan bagian dari budaya Sunda.
"Ke depan, program ini akan berkelanjutan. Kita harus menyadari bahwa lahan bermain anak sudah minim, tetapi pengenalan terhadap Kaulinan anak-anak harus terus dilanjutkan, dengan sasaran PAUD, TK, dan SD," pungkasnya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang